AMPLOP KEBERSAMAAN BAGIAN 2


Dengan senyum penuh wibawa Musyatro kembali menjelaskkan tujuan dari apa yang dikatakannya, “ maksudnya begini bu, saya melihat apapun rencana yang kita buat untuk mereka akan menemui jalan mulus, karena mereka datang dan masuk ke sekolah yang telah memiliki nilai baik.”

Pak Irkatro tak mau ketinggalan, lalu menambahkan,” benar bu, mereka pasti akan menuruti apa-apa yang menjadi kebijakan sekolah ini, terutama kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan biaya,” pak Irkatro memandang pak Supatro, agar memberi dukungan dari pendapatnya.

“Oh.. begitu ya,” gumam Nelun sambil tersenyum renyah. Lalu Nelun berkata, “ memang semua pengembangan perlu dukungan dan penunjang, yaitu dana, nah dana ini bisa diperoleh dari para siswa/siswi tiap tahun ajaran,” berhenti sejenak sambil minum teh manis yang telah tersedia. “Untuk itu buatlah rencana anggaran biaya sebaik-baiknya untuk diajukan kepada para orang tua siswa/i tersebut besok, tolong buat selengkap mungkin dan sehemat-hematnya !” seru Nelun.

Pak Supatro yang diam saja sejak awal, lalu berkata, “ apakah perlu rincian yang sangat detail bu ?”

“Apakah rincian iuran peserta didik baru juga perlu kita laporkan kepada semua para orang tua murid ?” tanya pak Supatro lagi.

“Oke, kalau begitu kita bahas satu-persatu mengenai rincian rencana biaya yang akan kita bahas,” tegas Nelun kepada para wakilnya, agar tujuan dari pertemuan yang diarsitekinya berjalan dengan mulus.

“Mengenai rincian untuk iuran peserta didik baru, sebaiknya hanya kita yang mengetahuinya, kenapa?” pernyataan dan pertanyaan Pak Musyatro.

“Kenapa mesti begitu pak?” tanya pa Supatro  kepada rekannya.

“Masa belum jelas juga sih, pak…pak, ini tahun 2008, jamannya serba mahal, segala-galanya perlu biaya besar” seru pak Musyatro dengan sedikit bergurau.

“Iya juga ya pak Mus, he…he, iya….iya saya mengerti, tapi tolong supaya untuk hal ini kita buat serapi mungkin, “ sela Irkatro.

“Rocker juga manusia, apalagi kita…ha ha ha ha ha,” sahut  Musyatro sedikit bersenandung dan semua tertawa lepas, seakan telah berhasil memperoleh sesuatu yang sangat berharga.

Dari pertemuan tersebut ada beberapa hal yang telah dibuat dan dipersiapkan, diantaranya adalah usulan mengenai iuran peserta didik baru (IPDB) tahun ajaran baru 2008/2009 yang akan dimulai  beberapa hari lagi. Mereka semua berharap usulan tersebut segera disetujui oleh Komite Sekolah yang diwakili oleh ketua komite dan didukung oleh pihak diknas setempat.

“Terima kasih dengan hasil pembicaraan kita hari ini, semoga tidak terjadi suatu halangan apapun dan kita berharap segala sesuatu yang kita rencanakan ini mendapat ridho dari Allah SWT,” ujar Nelun menutup pertemuan dengan para wakilnya.

Dengan salah satu hasil dari pertemuan tersebut adalah rencana anggaran biaya iuran peserta didik baru tahun ajaran 2008/2009 yang nilainya lebih tinggi dari tahun ajaran sebelumnya, mungkin disesuaikan dengan kenaikan harga-harga bahan pokok atau bahan bakar minyak yang semakin melambung.

Anggaran dari Iuran Peserta Didik Baru (IPDB) ini akan dipergunakan pada  pengembangan sarana dan prasarana dalam proses belajar mengajar, pendalaman materi bagi seluruh siswa/i baru disaat jam pelajaran berakhir dan pengadaan, serta perbaikan/pembangunan beberapa fasilitas dilingkungan sekolah. Satu lagi, dari sebagian IPDB tersebut akan digunakan dalam kegiatan Ektrakurikuler, seperti OSIS, Pramuka, dan lain-lain.


Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Nelun duduk diruangannya sambil mempersiapkan hal-hal yang telah dibuat bersama para wakilnya dan akan diberitahukan kepada sahabat sang ketua komite dan teman-teman Diknas di wilayah kekuasaannya.

“Halo,…Assalammualaikum, bisa bicara dengan Pak Sunakatro?” sapa Nelum ditelepon

“Wa’alaikum Salam, ya saya sendiri bu, apa kabar bu Nelun?” jawab Sunakatro.

“Baik pa, saya harap bapak juga dalam keadaan baik dan selalu dalam lindungan Allah SWT, “ jawab Nelun lagi.

“ Begini pak, saya ingin minta waktu bapak untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan tahun ajaran baru yang jatuh beberapa hari lagi,” jelas Nelun dengan suara yang dibuat semerdu dan semanis mungkin.

“Wah,… bisa   bisa bu, untuk bu Nelun pastilah saya siap, apalagi yang berhubungan dengan tahun ajaran baru, wah pasti ada kabar baik nih, ha ha ha,” jawaban yang memberikan angin segar oleh pak Sunakatro. Lalu lanjut Sunakatro,” oke oke, besok saya ada waktu bu, kalau bisa setelah waktu pulang kantor lebih enak barangkali bu.”

“Baik pa, kalau begitu saya akan datang kerumah pak Sunakatro sekitar pukul 19.00.” ujar bu Nelun.

Tok..tok..tok, pintu ruang Nelun berbunyi. “Siapa ya?” tanya Nelun. “Saya bu, Irkatro,” jawab Irkatro. Lantas sambil menutup telepon, Nelun mengijinkan Irkatro masuk.

“Pa Irkatro, tolong persiapkan bahan yang akan saya bawa ke pak Sunakatro besok, siapkan apa saja yang membuat beliau senang saat saya mengunjunginya, dan jangan ada yang terlewatkan agar semua rencana menjadi lancar pa,” pinta  Nelun kepada wakilnya yang terbilang setia dan seirama itu.

Waktu pertemuan dikediaman pak Sunakarto pun tiba, pukul 19.05 bu Nelun tiba di rumah pa Sunakatro.

“Assalammualaikum.” salam Nelum didepan pintu sambil membawa bahan yang akan dibicarakan dan beberapa tentengan oleh-oleh untuk keluarga pak Sunakatro.

“Wa’alaikum salam,” sambut pak Sunakatro yang memang telah menunggu kedatangan bu Nelun.

Dengan sedikit berbasa-basa, pak Sunakatro berkata,” wah jangan repot-repot lah bu, jadi ga enak nih.”

“Ah, ga masalah pa, kan saya jarang-jarang main kerumah bapak, sekalian saya mau nengok anak-anak pak, sudah lama ga ketemu nih,” balas Nelun berbasa-basi.

“Bu..bu, ini ada tamu terhormat dari sekolahan, Ibu Nelun datang nih,” panggil pa Sunakatro kepada istrinya yang sedang berada didalam ruangan tidur anaknya. 

“Ehhhh…bu Nelun, apa kabarnya?” sapa istri Sunakatro menghampiri Nelun.

“O.. alah bu Sunakatro keliatan awet muda yah, apa rahasianya nih ?” gurau Nelun, lalu lanjutnya, “ bagi-bagi dong rahasianya?” goda Nelun kepada bu Sunakatro.

“Ini banyak amat bu Nelun, aduh jadi ngerepotin ibu nih bawa oleh-oleh sebanyak ini,” ucap bu Sunakatro kaget melihat bawaan bu Nelun untuk keluarganya.

“ Mau minum apa nih bu Nelun?” tanya bu Sunakatro lagi.

“ Ga usah repot-repot bu, air putih saja, maklum sudah berumur jadi harus banyak minum air putih,” sahut bu Nelun sambil tersenyum.

“Silahkan duduk bu,” sela pak Sunakatro sambil menjulurkan tangan kanan dengan ibu jari menunjuk ke arah tempat duduk di ruang tamu.

“Terima kasih pak,” jawab Nelun sambil duduk di tempat duduk menghadap ke pintu depan, sedangkan pak Sunakarto duduk berseberangan dengan bu Nelun.

“Bagaimana bu, apa yang bisa saya bantu nih?” tanya pak Sunakatro mengawali pembicaraan.

“Mudah-mudahan ada hal-hal baik yang bisa kita perbuat untuk siswa/i ibu ditahun ajaran baru ini, yah tentunya juga baik buat kita lho,” lanjut pak sunakatro dengan sedikit bergurau.

“Ini pak rencana anggaran iuran peserta didik baru yang telah kita rapatkan disekolah, mohon dikoreksi barangkali ada hal-hal yang kurang tepat pada hasil keputusan rapat kami ini,” kata Nelun menjelaskan dan menyerahkan rencana anggaran IPDB tahun ajaran 2008/2009 kepada pak Sunakatro.

“Dari rencana yang kami buat, kami akan melakukan pendalaman materi yang akan dilakukan setiap hari diakhir jam pelajaran sekolah usai,” tutur Nelun kepada pak Sunakatro.

“Bagus-bagus sekali rencana itu,” sahut pa Sunakatro antusias.

“Kemudian ada beberapa hal lain seperti yang tertulis pada map tersebut, yang mungkin bisa bapak lihat nanti, bilamana kurang kami akan buat perubahan dan koreksi atas rencana tersebut,” jelas Nelun kembali.

“Tapi ini saya rasa sudah cukup baik bu, seperti ini nih.. renovasi mushola, kantin dan fasilitas penunjang yang mempengaruhi proses belajar mengajar memang perlu mendapat perhatian, dan tentu untuk itu semua perlu biaya lho, “ tegas pa Sunakatro lagi , sambil sedikit memberikan wejangan dan nasehat.

Mendengar kesan positif dari pa Sunakatro terhadap rencana yang diajukan membuat bu Nelun merasa optimis, lalu sambil tersenyum simpul Nelun berkata,” terima kasih atas perhatian pa Sunakatro pada kemajuan pendidikan sekolah kami.”

“Sama-sama bu,” jawab pak Sunakatro.

“Aduh, maaf bu Nelun, minumannya terlambat,” sela bu Sunakatro sambil meletakkan gelas berisi air putih dan mempersilahkan bu Nelun untuk mencicipi hidangan yang telah disediakan ala kadarnya.

“Terima kasih bu Sunakatro, kuenya enak, ibu pintar membuat kue,” basa-basi bu Nelun, yang dalam hatinya terpenting adalah rencananya disetujui oleh pa Sunakatro.

“Bu Nelun, maaf… boleh  saya tanya sesuatu dari bagian ini?” tanya pa Sunakatro sambil menunjukkan pada bagian dari rencana anggaran biaya tersebut.

 “Silahkan pa,” jawab bu Nelun sambil melihat bagian yang ditunjuk pa Sunakatro.

“Oh…itu adalah rencana kita, maksud saya pihak sekolah akan memberikan uang transport pada tiap pengawas dari Diknas wilayah sekolah yang datang, yang waktu datangnya bisa tiap bulan, nah nilai yang dialokasikan adalah tiga ratus ribuan per orang. Dan itu bukan untuk menyuap lho pa, tapi uang pengganti transport,” jelas bu Nelun panjang lebar, sehingga pak Sunakatro manggut-manggut seperti mengiyakan keterangan dan tujuan bu Nelun tersebut.

“Ok bu, prinsipnya saya setuju dengan rencana anggaran yang akan diajukan kepada siswa/wi baru di tahun 2008/2009, saya harap semoga kerja sama ini sama-sama bermanfaat,” menanggapi semua perihal rencana yang diajukan, meskipun belum semua dibaca dan dimengerti, yang dalam pikiran pa Sunakatro yang terpenting kerjasama yang saling menguntungkan dikedua belah pihak, masa bodoh dengan beban para orang tua murid lainnya, asalkan anaknya selamat dan tercukupi.

“Satu lagi, tolong dikondisikan dengan pihak Diknas dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, agar tidak menimbulkakn pertanyaan dan permasalahan dimasa yang akan datang,” pinta pa Sunakatro kepada bu Nelun

“Tentu pak, dan sekali lagi terima kasih atas dukungan yang bapak berikan untuk sekolah kami,” jawab bu Nelun sambil menyalami pak Sunakatro dan istrinya.

“Kalo begitu saya mohon pamit dan maaf di map itu ada “amplop kebersamaan” atas kerja sama dan saling pengertian diantara sekolah dan komite sekolah,” ujar bu Nelun sambil berdiri dan berpamitan kepada pa Sunakatro dan bu Sunakatro.

Tahun ajaran baru 2008/2009 yang jatuh pada pertengahan Juli 2008 telah dimulai, beberapa kegiatan, seperti kegiatan masa orientasi sekolah (MOS), acara bazar dan lain-lain diadakan di sekolah. Semua siswa baru masih mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian semasa di sekolah menengah pertama (SMP/Mts) terlihat antusias dan bersemangat melakukan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh para seniornya, tanpa sadar orang tua mereka akan dibuat tujuh keliling oleh pungutan-pungutan biaya yang sebentar lagi disodorkan dan harus dibayarkan.

“Pak musyatro tolong diatur, agar saya bisa melaporkan ke Diknas tentang rencana anggaran biaya yang telah disetujui oleh Pak Sunakatro sebagai ketua Komite sekolah ini,” minta bu Nelun kepada pa Musyatro yang sedang mengawasi kegiatan MOS di sekolah.

“Baik bu, kapan kira-kira waktu yang tepat dan tidak bertabrakan dengan jadwal bu Nelun?” tanya pa Musyatro sebelum pergi ke ruang kantornya untuk menghubungi pihak Diknas setempat.

“Ikuti saja waktu mereka dan jangan lupa undangan untuk membicarakan IPDB dengan para orang tua siswa/i disosialisasikan dan dibagikan pada tiap siswa melalui wali kelasnya,” tegas bu Nelun. Langkah pak Musyatro terhenti dan menjawab,”siap, segera saya lakukan bu.”

Biaya-biaya yang harus dipenuhi oleh orang tua para siswa/i antara lain adalah, biaya pembelian baju seragam. Baju seragam mulai dari batik, baju olah raga, dan lain sebagainya, SPP dan IPDB, serta biaya lain yang akan ditentukan dan disesuaikan dengan jadwal dan kondisi dikemudian hari. Biaya lain yang tidak ditetapkan diawal masuk, antara lain adalah Iuran Osis per semester, Iuran perpisahan kelas XII (dibebankan juga pada kelas X dan XI), sumbangan-sumbangan perayaan hari-hari besar, dan lain sebagainya.

Untuk nilai iuran yang terbilang besar dari seluruh biaya tersebut adalah Iuran Peserta Didik Baru (IPDB), maka dari itu untuk yang satu ini perlu adanya pendekatan dengan para orang tua dari siswa/i. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kecurigaan, maka pihak sekolah perlu membuat situasi dari besarnya biaya IPDB menjadi suatu hal yang menjadi keputusan bersama, meskipun hal tersebut hanyalah akal-akalan yang telah direncanakan dari sebuah keputusan sepihak yang tidak bisa diubah oleh para orang tua siswa/i yang hadir.

“Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu, apakah sudah siap untuk pertemuan hari ini dengan para orang tua siswa/i mengenai masalah IPDB,” tanya  Nelun kepada seluruh wakil dan staf pengajar.

“Sudah bu, mungkin sekitar jam 10 pagi ini para orang tua siswa/i diharapkan sudah hadir seluruhnya di sekolah ini,” jawab Musyatro.

“Assalammualaikum bapak-bapak dan ibu-ibu, terima kasih telah hadir di sekolah ini, guna memusyawarahkan Iuran peserta Didik Baru (IPDB) bersama-sama, antara pihak sekolah orang tua siswa/i, komite sekolah dan juga akan diketahui oleh Diknas wilayah sekolah kita,” sapa bu Nelun sebagai kepala sekolah saat membuka pertemuan. 

Kemudian dengan lincahnya bu Nelun menjelaskan dan menerangkan kondisi dan prestasi yang telah dicapai sekolah dari A hingga Z. Berawal dari penjelasan itulah, bu Nelun mulai memberikan pendekatan dan penjelasan tentang pentingnya dan kegunaan dari IPDB yang dibebankan kepada tiap siswa/i. Dengan IPDB ini diharapkan kegiatan proses belajar mengajar tidak terganggu. Dan, dengan IPDB ini diharapkan prestasi siswa akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Maaf bu Kepala Sekolah yang terhormat, boleh saya bertanya?” sela salah satu orang tua siswa sambil berdiri dan mengangkat tangannya.

“Silahkan pak,” jawab salah satu wakil dari bu Nelun, pa Irkatro lantas berjalan memberikan mic kepada orang tua siswa tersebut.

“Begini bu, tadi dari seluruh penjelasan tidak ada rincian dari IPDB tersebut, untuk itu bolehkah kami semua memperoleh rincian secara tertulis seperti yang ditunjukkan pada slide atau yang dibuat secara resmi oleh pihak sekolah?” tanya orang tua siswa tersebut, yang ternyata bernama Pak Badrun yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil juga.

“Rincian IPDB itu nanti kita akan buatkan, nah.. untuk kali ini tolong dicatat dulu, karena pertemuan kita kan juga belum selesai,” jawab Pa Musyatro sambil menyenggolkan kakinya kepada pa Irkatro yang duduk disebelahnya dan memberikan coretan tangan yang berbunyi santai aja, karena Irkatro terlihat mulai gelisah.

“Oke, bapak-bapak dan Ibu-ibu, silahkan mencatat rincian yang ditampilkan pada slide sambil mendengarkan penjelasan kami,” kata Irkatro yang berjalan menuju orang tua yang memegang mic saat bertanya tadi.

“Boleh kami lanjutkan untuk menjelaskan hal-hal mengenai IPDB ini lagi?” tanya bu Nelun.

“Bolehhhh,” jawab para orang tua siswa/wi serentak.

“Baik, kami lanjutkan penjelasan mengenai IPDB ini,” kata Bu Nelun.

“Nilai IPDB diperkirakan sebesar lebih dari Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) ini akan digunakan untuk beberapa program yang sangat diperlukan oleh para siswa/i itu sendiri, seperti contoh adalah pendalaman materi akan dilakukan tiap hari diakhir jam pelajaran, nah untuk biaya pendalamannya tidak ada, dari IPDB akan digunakan sebagian untuk makan siang guru-guru yang terlibat pada kegiatan ini. Kemudian, perkembangan teknologi informatika yang sangat pesat sebaiknya diikuti dengan pengembangan sarana yang berkaitan dengan teknologi tersebut, antara lain adalah penambahan komputer ditiap-tiap kelas, agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan baik,” ujar Bu Nelun dengan semangat dan meyakinkan.

“Lalu, beberapa hal penunjang proses belajar mengajar lain yang juga diperlukan para siswa/i adalah bla bla bla, dari a hingga z, dari 1 hingga 0 dan begitu seterusnya,” kata Nelun lagi.

“Pada saat tertentu, sekolah kita dikunjungi oleh penilik/pengawas dari Diknas wilayah sekolah kita, nah… untuk itu perlu uang transportasi bagi tiap pengawas yang datang akan diambil dari IPDB,” tambah Nelun, yang tidak menyadari kalau penjelasan ini akan ditolak oleh hampir seluruh para orang tua siswa/i yang hadir.

Situasi mulai memanas pada saat itu dengan penolakan rencana penggunaan yang diutarakan pihak sekolah untuk transportasi para pengawas Diknas yang datang. Silih berganti para orang tua meminta untuk bicara, sehingga membuat pihak panitia yang diwakili oleh para wakil dan dipimpin langsung oleh kepala sekolah menjadi kewalahan mengatasinya.

Untuk meredam hal tersebut, maka bu Nelun berkata, “ Baik bapak-bapak dan Ibu-ibu, jika hal tersebut tidak disetujui, maka kami akan menghilangkan bagian tersebut. Bisa dikatakan untuk transportasi ditiadakan.” Setelah Nelun berkata demikian, situasi mulai mereda dan menjadi kondusif kembali. Beruntung dari awal pembahasan IPDB hingga penolakan terhadap penggunaan IPDB untuk transportasi pengawas, para orang tua siswa/i belum mengetahui nilai total IPDB yang akan dibebankan kepada tiap siswa/i. “Untung belum diumumkan kepada mereka nilainya,”gumam Nelun dalam hati.

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, saya mohon ijin sebentar untuk menemui tamu saya dari Diknas dikantor saya,” kilah bu Nelun beralasan, kemudian memberikan kode kepada musyatro untuk menyusulnya ke ruang kantor.

Bu Nelun bergegas menuju ruang kantornya, sementara acara rapat IPDB dengan para orang tua siswa/i diwakilkan sejenak oleh pak Irkatro dan staf lainnya. Tiba diruangan kantor, bu Nelun duduk termenung dikursinya dengan memegangi keningnya, lalu terdengar ketukan beberapa kali dan ternyata Musyatro muncul setelah dipersilahkan masuk.

“Ada apa bu?” tanya pa Musyatro pada bu Nelun.
“Bapak dengar penolakan yang terjadi diruang pertemuan terhadap rencana penggunaan IPDB, untuk transportasi pengawas yang datang ke sekolah ini?” tanya bu Nelun kembali kepada Pa Musyatro.

“Ya bu, saya telah mendengarnya dan apa yang harus kita lakukan agar biaya transportasi tetap kita ambil dari IPDB.” ujar pa Musyatro.
“Sebenarnya kita masih mempunyai peluang  untuk itu,” tegas bu Nelun kembali
“Kita buat seakan-akan nilai IPDB telah dipotong dengan nilai yang dianggarkan untuk transportasi para pengawas diknas yang berkunjung, jadi kita utarakan saja nilai yang telah dilebihkan terlebih dahulu kepada mereka, kan mereka belum tahu dan tidak tahu untuk apa saja IPDB itu sesungguhnya,”ungkap bu Nelun lagi.
“Saya setuju dengan pendapat ibu, brilian,” sahut pa Musyatro sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya tanda sependapat.

“Mari kita kembali keruangan pertemuan dengan para orang tua siswa/i, jangan sampai mereka curiga dan berpikir yang bukan-bukan pada kita,” ajak bu Nelmi pada Pa Musyatro.

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, setelah kami pikirkan, maka dari nilai Rp.3.500.000,- akan dikurangi menjadi Rp. 3.000.000,- “ ujar bu Nelun di depan para orang tua siswa/i.

“Terus, mengenai pembayarannya bisa dicicil bagi para siswa/i yang tidak mampu, namun untuk siswa/i yang berkecukupan dimohon kesediaannya demi lancarnya proses belajar mengajar siswa/i baru di sekolah ini,” tutur bu Nelun diakhir pertemuannya, meskipun masih banyak terlihat wajah-wajah ketidakpuasan dari wajah para orang tua siswa/wi.

“Untuk masalah baju seragam, SPP dan lain sebagainya, akan dijelaskan oleh wakil-wakil saya, antara lain adalah oleh bapak Musyatro, Supatro dan Irkatro untuk memberikan penjelasan-penjelasan berikutnya.

Setelah beberapa waktu berselang, hingga siswa/i duduk dikelas XI, rincian IPDB belum juga dan tidak pernah ada bentuk dan wujudnya. Memang ada sebagian dari siswa yang kurang beruntung secara finasial belum menyelesaikan IPDB seluruhnya, hingga mereka duduk di kelas XI. Hingga tibalah saatnya kekeruhan yang timbul akibat ketidak transparannya sekolah yang dipimpin oleh bu Nelun sebagai kepala sekolah, beserta para wakilnya, yaitu: Musyatro, Irkatro dan Supatro.

Diawali oleh orang tua siswa yang belum melunasi IPDB, bahkan SPP pun belum dilunasinya. Beruntung, orang tua siswa tersebut mendapatkan rejeki dan meminta kepada istrinya untuk melunasi seluruh hutang-hutang SPP, bahkan SPP hingga tahun yang akan datang (tahun ajaran 2010/2011) di sekolah yang dipimpin oleh bu Nelun. Namun, untuk IPDB bapak dari siswa tersebut memberi pesan, untuk melunasi jika ada rincian penggunaan resmi yang dibuat oleh pihak sekolah.

Ternyata pelunasan hanya untuk SPP pada saat siswa tersebut duduk dikelas XI semester genap atau tahun ajaran 2009/2010, karena SPP untuk tahun ajaran baru kemungkinan akan berubah, bahkan cendrung naik. Saat inilah terjadi hal yang tidak terduga, dimana seorang wakil kepala sekolah memberikan keterangan yang membuat telinga menjadi merah, membuat yang bertanya menjadi orang yang tidak pernah sekolah dan sangat menyinggung.

Seorang ibu yang diberi mandat untuk melunasi IPDB bertanya,” Pa, boleh tidak saya minta rincian penggunaan IPDB, karena saya dipesan oleh suami saya untuk minta rincian tersebut saat pelunasan, saat ini akan saya lunasi bila hal tersebut bapak berikan.”

Dengan ringan Pa Musyatro menjawab, “maaf kami tidak bisa memberikan rincian, karena kami takut disalahgunankan.

Istilah “disalahgunakan” inilah pemicu ketidakpuasan dan sangat menyinggung. Ibu tersebut pulang dan melaporkan kepada suaminya, yang kebetulan sangat paham dengan dunia pendidikan dan etika pendidikan.

Tiba waktunya pengambilan raport kenaikan kelas, karena belum melunasi IPDB, ibu tersebut diatas menemui dan memohon pada pa Musyatro, agar diijinkan mengambil raport, saat itu pa Musyatro berkata,” tolong ibu datang ke Komite Sekolah, karena masalah IPDB adalah tanggung jawab mereka.

Jalanlah sang ibu tadi menemui komite, kemudian bertanya dengan sedikit memohon,” bu, bolehkan saya mengambil raport anak saya, tetapi saya belum melunasi IPDB (kurang sekitar Rp.800 ribu)?”

“Wah ga bisa bu, begini saja ibu ditunggu sampai jam 2 siang hari ini juga untuk melunasi kekurangan IPDB, baru raport bisa diambil,”jawab ibu Dwi yang katanya adalah salah satu Komite sekolah.

“Baik bu, terima kasih,” jawab ibu yang belum melunasi IPDB anaknya itu pergi dengan perasaan kecewa dan tidak percaya bila ada seorang komite bisa menahan raport, juga merasa seperti diperdaya oleh system dan aturan sekolah yang dibuat sedemikian rupa dan selalu merasa benar. Sampai dirumah dilaporkanlah kejadian di sekolahan tadi.

Atas laporan tersebut, sang suami merasa terjadi kejanggalan dan praktek korup, karena salah satu anaknya yang bersekolah di bangku sekolah dasar (SD), setiap minggu membawa rincian berbentuk fotokopian, meskipun isinya hanya fotokopi nota undangan 50 lembar dikalikan Rp. 75,- . Bagaimana dengan nilai Rp. 3.000.000,- yang dikali dengan 320 siswa, tentu bukan angka yang kecil dan bukan tidak mungkin membuat pengelola uang tersebut mengeluarkan air liur untuk menikmatinya.

Kemudian dihubungilah teman-teman yang sangat dekat dengan dunia pendidikan, media masa dan lain-lain, untuk mengangkat dan membeberkan ketidakberesan yang terjadi di sekolah anaknya. Dimana terjadi penahanan raport oleh komite sekolah, dengan dalih belum melunasi IPDB, “wah.. sudah ada yang ga beres dan  melanggar tuh,” kesan mereka.

“Serius kasus ini mau diangkat?” tanya seorang teman sang bapak yang berprofesi sebagai wartawan.

“Ya, serius, ini bukan masalah biasa, ini sudah pelecehan terhadap etika pendidikan,”terang sang bapak dari siswa yang ditahan raportnya. Lalu lanjutnya,” Meskipun dari 320 orang tua siswa hanya saya, saya tidak takut dan merasa perlu  untuk mengungkap dan membeberkannya, dan saya sudah berpesan pada anak saya,” untuk siap dengan segala resiko yang akan dihadapinya,” tegasnya. Sang suami memberikan penjelasan tersebut dengan nada geram, karena si anak saat kejadian baru saja menuju tahun ajaran 2010/2011 atau baru menginjak kelas XII.

Meledaklah berita dan ketidak puasan terhadap kejadian tersebut dibeberapa media massa di Ibukota Jakarta, hingga salah satu stasion  televisi mendatangi rumah siswa tersebut untuk klarifikasi.  

Herannya, berita dimedia massa ini bukan menjadi bahan masukan positif bagi Diknas untuk meningkatkan kualitas, malah pihak Diknas memberi jawaban yang tidak masuk akal dan tidak bersahabat, seolah-olah membenarkan tindakan yang dilakukan pihak sekolah,” Kalau ga sanggup bayar ya terus terang saja, jangan membuat berita yang tidak benar.” Alasan yang serupa dengan pihak sekolah ketika dihubungi dihubungi terlebih untuk diminta konfirmasinya oleh beberapa wartawan dari media massa, bertepatan kepulangan mereka seusai berlibur ke Singapura.

Jawaban ini memberikan sinyal, begitu eratnya tali persahabatan dan kekerabatan antara kepala sekolah dan pihak Diknas wilayah sekolah tersebut berada. Jawaban tersebut mengindikasikan ketidakmengertian Diknas terhadap permasalahan yang terjadi atau menutup mata, sehingga pihak sekolah dianggap benar dan berlaku wajar.

“Apapun jawaban anda, hai yang duduk disana, baik di sekolah ataupun di Diknas, kami bukan tidak sanggup membayar, tapi sudah membayar dan akan melunasi sisa yang tinggal beberapa rupiah lagi, bila ada transparansinya,” gerutu sang bapak setelah membaca jawaban sang kepala sekolah dan pihak Diknas yang mengesalkan itu.

“Pemerintah dan DPR-RI saja perlu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan dalam membahas kenaikan harga BBM yang hanya RP.500,- . Bagaimana mungkin nilai rupiah yang dikumpulkan tiap tahun diawal ajaran baru tanpa adanya laporan pertanggungjawaban?” ungkap sang bapak ketika berbicara kepada teman wartawannya.

Bila kejadian ini dipandang biasa saja, bagaimana nasib bangsa ini kedepannya. Bukankan hal ini merupakan praktek pendidikan yang sangat tidak patut dan tidak terpuji, karena terjadi dilingkungan pendidikan. Tidakkah peristiwa ini membawa dampak buruk bagi siswa/i dimasa yang akan datang, dimana para siswa merasa hal tersebut adalah biasa dan sah-sah saja.

Kisah ini merupakan kisah nyata yang terjadi disalah satu SMA negeri di sudut wilayah Jakarta. Ternyata,  Koruptor ada disekolahku juga.

Kisah tersebut adalah satu dari kejanggalan-kejanggalan di sekolah tersebut, antara lain adalah; les privat oleh dua orang guru bidang study matematika dan fisika, yang memberikan latihan-latihan pada soal-soal yang akan keluar saat ulangan harian, ujian tengah semester atau pun ujian akhir semester pada tahun ajaran 2008/09, mungkin tujuannya agar masuk IPA; membedakan bagi siswa yang belum melunasi kewajiban membayar SPP dari siswa yang telah melunasinya saat ujian tengah semester atau pun ujian akhir semester, dan terjadi sampai saat ini;  mengintimidasi siswa, agar mencerikan yang baik-baik saja, bila ada pengawas dari Diknas ynag dating; serta pungutan-pungutan lain yang tidak pernah ada laporan pertanggung jawabanya. Semua berlalu dan berjalan seperti biasa, tanpa masalah dan dosa hingga saat ini.

Mungkin ga ya program wajib belajar 12 tahun ada dan tidak bercelah di Jakarta ini ??? Kalo ada paling uang ini itu atau itu ini, semoga tidak mengurai benang kusutlah.


----Semoga Cerita Ini Hanya Fiktif----


Recommended Posts :

0 komentar:

Posting Komentar - Back to Content

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))