Awal Keruntuhan Kasta Sistim Pendidikan Nasional

SBI dan RSBI dububarkanoleh Mahkamah KonstitusiPembubaran SBI dan RSBI oleh Mahkamah Konstitusi menjadi angin segar bagi siswa berprestasi yang tidak mampu. Pasalnya memang yang bersekolah di sekolah bertaraf tersebut, paling sedikit harus memiliki kasta yang lebih tinggi, selain kemampuian dan prestasi siswanya.

Bukan rahasia lagi, mereka yang bersekolah di  sekolah-sekolah bertaraf yang embel-embelnya internasional memiliki orang tua yang kemampuan finansialnya mapan. Inilah awal keruntuhan kasta dan pengkotak-kotakan pada Sistem Pendidikan Nasional

Kalau dikatakan rentan terjadi kastanisasi mungkin sangat tepat, bahkan tepatnya sudah terjadi sekian tahun lamanya kastanisasi antara sekolah bertarap atau rintisan internasional dengan sekolah-sekolah lainnya. Bukan itu saja, jika dipetakan kelas sekolah di negeri ini memiliki 3 kelas yang tidak berbeda dengan hotel-hotel yang berbeda bintang atau posisi tempat duduk di pesawat. Kelas Eksekutif bagi kelas bertaraf Internasional, kelas Bisnis untuk SSN dan Ekonomi untuk sekolah biasa.  

Padahal menurut amandemen UUD 1945 Ke IV ( tahun 2002) yaitu tentang pendidikan, pada pasal 31 ayat 1 mengatakan "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Tentu para siswa yang memiliki tingkat prestasi diatas rata-rata memiliki hak untuk bersekolah yang memiliki prestasi pula, sayangnya sekolah yang berprestasi ini rata-rata sudah berubah status menjadi SBI atau RSBI, minimal SSN. Mereka mampu untuk masuk kesekolah bertaraf itu, tapi tak jarang terbentur dengan yang bertitel "uang" diawal-awal. Akhirnya mereka memilih kelas ekonomi, hal ini cenderung akan menyurutkan mental dan prestasi siswa tersebut. Jadi, bila sekolah bertaraf internasional masih ada, sekolah itu untuk warga negara yang mana?

Acungan jempol untuk Mahkamah Konstitusi dan para inisiantor atas pembubaran sekolah berstatus Internasional, karena memang tidak sesuai dengan Undang-Undang dari jaman sebelum diamandemen atau setelah diamandemen. Pembubaran Sekolah berstatus Internasional ini bukan saja telah memutus mata rantai kastanisasi, tetapi memutus kerentanan terjadinya korupsi atas pungutan-pungutan bervariasi dengan dalih meningkatkan mutu pendidikan.

Pada jaman RSBI memang terjadi persaingan antar sekolah dalam maningkatkan prestasinya dan semua berlomba untuk memperoleh status Internasional itu. Mereka saling berlomba meningkatan sarana dan prasarana dengan dalih meningkatkan prestasi, sehingga ditiap-tiap awal tahun membuat pusing tujuh keliling bagi para orang tua yang putera puterinya bersekolah ditempat itu. Pungutan menjadi tidak masuk akal, penambahan AC untuk meningkatkan proses belajar mengajar, buku-buku yang berbeda, dan segudang fasilitas lain termasuk kantin menjadi perhatian guna meningkatkan prestasi bealjar siswa.

Ironisnya adalah tidak semua tingkat ekonomi dari para orang tua siswa itu sama mampunya, terkadang pihak sekolah tidak mau tahu dan berdalih ini sudah keputusan bersama "komite". Maaf, ini adalah kenyataan yang pernah terjadi pada saya, dimana sekolah negeri biasa-biasa saja tidak transparan atas penggunaan Iuran Peserta Didik Baru (IPDB) (2009). Kelas atau jenjang sekolah sangat rentan menjadi lumbung pungutan ini dan itu, dengan alasan mengejar prestasi status sekolah. Pada 2009 itu, disaat rapat sang kepala sekolah dengan terbuka mengatakan "ini adalah biaya untuk pengawas yang datang per sekian bulan sekali" dan itu dibebankan kepada orang tua siswa baru saat itu, termasuk orang tuaku.

Pengalaman diatas itu di sekolah menengah atas negeri biasa saja, bagaimana besarnya pungutuan sekolah yang taraf atau kelas diatasnya. Pastinya lebih tinggi dan membuat para orang tua tujuh keliling diawal-awal tahun ajaran baru. Pembubaran sekolah bertaraf internasional ini meenjadi momentum guna meningkatkan prestasi tanpa kastanisasi, sehingga semua golongan bisa belajar di sekolah yang dulunya bertaraf internasional. Selain itu juga, pembubaran ini akan menghentikan praktek kejar mengejar sekolah-sekolah yang bernafsu meningkatkan status yang berakibat dan berpeluang pada pungutan-pungutan yang tidak jelas juntrungannya.

Jika sekolah bertaraf internasional dibubarkan, status sekolah bertaraf nasional pun harusnya tidak ada lagi. Kenapa? Kalo masih ada berarti masih ada kotak dan perbedaan diantara sekolah satu dengan lainnya, baik itu fasilitas, besarnya biaya dan pastinya status kasta masih lekat menempel. Sekolah berstatus Nasional SSN masih ada berarti sekolah itu memiliki status tertinggi saat ini, ya paling tidak berada dikelas Bisnis begitu. Sekolah yang tidak berstatus SSN tentunya berada di kelas ekonomi. 

Herannya sekolah yang bukan SSN ini juga sekolah Nasional yang berada di Republik Indonesia tercinta. Salahkah bila beranekdot, sekolah yang tidak SSN bisa dikatakan bukan sekolah nasional dan mungkin juga bisa dikatakan tidak nasionalis?  Kenapa ada Sekolah Berstandar Nasional dan yang bukan standar nasional? Bukankah masih ada pengkotakan ini bahkan mengarah pada kata nasional dan tidak nasional? seharusnya kategori peringkat sekolah tidak menggunakan status nasional, karena predikat ini bisa disalah artikan. Seharusnya cukup dengan penggunaan passing grade yang telah ada, masa ada sekolah nasional dan tidak nasional?  

Sepertinya perlu pertimbangan lagi pengkotakan status sekolah SSN, setelah pembubaran status sekolah bertaraf internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Bila SSN masih ada ditahun ajaran depan ini, berarti masih ada kasta kelas Bisnis dan Ekonomi dalam dunia pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan tinggal di Republik Indonesia dan kita semua pasti memiliki nasionalisme sebagai warga negara yang berbangsa satu, bangsa Indonesia. Bukan begitu?:


Recommended Posts :

0 komentar:

Posting Komentar - Back to Content

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))