.jpg)
Disaat-saat tidak hujan di musim kemarau, air sungai, kali dan got terkadang mengering seakan hilang bersama sengatan panas matahari. Sungai, kali dan got kosong memancing hasrat untuk dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan. Mungkin dipikir dari pada tidak berguna kosong melompong lebih baik digunakan menjadi tempat sampah saja. Sebentar dan tak lama kemudian mereka para sampah bertumpuk menimbun dan menggunung diareal kosong pinggir sungai, kali atau got. Mungkin air yang terbiasa menikmati harum sampah dan tumpukan rongksokan menjadi terbiasa, bahkan terkesan sakau bila tidak bertemu dengan para sampah ini.
Ulah kita yang membiasakan air sungai, kali dan got menikmati sampah-samaph kita, membuat mereka menjadi kacau (korup) dan haus akan kenikmatan yang lebih besar, lebih dari sekedar menikmati tanah dan batu kali. Kitalah yang membuat air sungai, kali atau got selalu mencari dan mencari kesempatan untuk menikmati hal yang lebih besar dari sekedar sampah atau timbunan rongsokan sehari-harinya.
Saat-saat yang ditunggu oleh mereka, para air pun tiba dimusim hujan, khususnya di negara kita saat ini. Jangankan sehari, sejam saja untuk air sungai atau kali yang sakau itu akan langsung menyergap dan mencari apa saja yang bisa dilahapnya. Kalau perlu manusia yang kerap memberinya sampah akan dilahapnya juga. Lihat saja seperti beberapa daerah bantaran kali di Jakarta ini, yang terbiasa memberi makanan sampah pada air kalinya, harus menerima akibat si air yang sakau. Salahkah si air? tidak, hal wajar bila si Air mencari makanan atau tempat lain yang baru, seperti lahan-lahan, jalan dan bahkan kamar tidur pun diinginkan si Air.
Si air mungkin terlalu dimanja di musim kemarau, begitu masuk musim hujan mereka yang sudah bEsar dan gemuk tentu perlu yang lebih besar juga. Jadi wajar dan sah-sah saja, bila sebentar turun hujan seperti sekarang ini air yang terbiasa manja itu akan minta lebih dari sekedar sampah dikantong kresek yang dilemparkan oleh kita. Mereka ingin nonton televisi, mereka ingin naik mobil, dan mereka ingin kita semua menyatu dan merasakan kegembiraan mereka si para air sungai, kali dan got yang menari-nari itu. Bahkan ada beberapa koloni air yang ingin merasakan nikmatnya berada ditengah mobil-mobil mewah para koruptor di jalan-jalan protokol.
Akibat didikan kita para manusia lah yang membuat para air menjadi beringas dan tidak puas dengan kebiasannya dan kerap sakau. Mereka menjadi selalu ingin meminta lebih disaat musim hujan dan selalu ingin bersama dan dekat dengan kita. Hanya saja kita menjadi risih dan menggerutu, bila mereka harus dekat dan menyatu dengan kita sebatas pinggang atau bahkan seleher kita, di jalan dekat rumah atau kantor kita.
Jadi banjir bukan karena sistim pengairan atau sistim pembuangan yang buruk, sungai yang terlalu sempit atau apalah yang menjadi alasan penyebab terjadinya banjir. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta manapun bukan penyebab terjadinya banjir, kita yang menjadi penyebabnya, kita yang membiasakan si air dengan sampah dan kita yang membuat tempat mereka berhias tumpukan sampah dan rongsokan. Kita lah yang merebut tempat mereka dan membuat tempat mereka menjadi sempit, hingga mereka si air mencari tempat yang lebih luas didaratan saat musim hujan. Kita yang membiasakan mereka manja dengan sampah yang kita berikan sehari-hari, hingga mereka bosan dan mencari lebih dari sekedar sampah dimusim hujan.
Lebih baik introspeksi dari pada saling menyalahkan satu sama lainnya atau mencari kambing hitam sebagai penyebab terjadinya banjir. Bukan pula sekedar teriak memohon dan mengemis pada Jokowi, jika ditempat kita banjir dan kebanjiran. Lebih baik mulai dari diri sendiri untuk tidak membiasakan memberi dan memanjakan air sungai, kali atau got dengan sampah. Buang lah sampah pada tempatnya, seperti apa yang ku dapat sewaktu di TK dulu.
Semoga ktia semua menyadari dan memperbaiki diri, ketimbang mencari kambing hitam, berkeluh kesah, dan memohon seperti pengemis malas tak mau kerja. Ayo, kotori tangan dengan sampah dan buang pada tempatnya, agar tidak ada lagi banjir. Jika masih terjadi banjir, itu baru namanya bencana alam dan cobaan Tuhan pada kita untuk semakin merenung, bahwa dunia ini sudah tua dan sempit.
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content