Adikku minta uang sebesar Rp.5000, - untuk membayar PMI seperti yang diperintahkan oleh gurunya di sekolah. Jika siswa sekolah dasar di Jakarta mengumpulkan juga dan atau mungkin semua tingkatan sekolah juga oleh sumbangan tapi wajib, berapa banyak uang yang bisa dikumpulkan? Modus penarikan sumbangan di sekolah itu tidak cocok lagi di saat ini, apalagi di era transparan. Sumbangan PMI di Sekolah membuat siswa takut dan harus membayar atas perintah para guru di sekolah masing-masing. Anak-anak pasti berpikir, jika tidak membayar akan mempengaruhi penilaian atau kemudian dihukum oleh guru. Itu hal yang buruk bagi generasi muda, yang pada akhirnya mendefinisikan sumbangan sukarela menjadi iuran wajib
Apa sebenarnya tujuan PMI mengumpulkan sumbangan di sekolah-sekolah? oh, mungkin memasyarakatkan rasa kepedulian sebagai sesama manusia, mengajarkan pada generasi muda untuk berbagi pada saudaranya yang sedang kesulitan, atau sebaliknya. Mengajari secara tersamar cara dan trik untuk mengumpulkan sumbangan dikemudian hari, yang akhirnya mereka kelak tinggal di penjara akibat aplikasi salah satu pembelajaran dari sumbangan PMI waktu SD dulu.
Cara dan trik yang digunakan oleh PMI seperti penodong, dan mengubah sumbangan yang berarti sukarela menjadi wajib.Pintar sekali trik PMI dalam mendulang dana masuk, objek yang berhubungan dengan kebutuhan masyarakat tak luput dari serangan selembar kertas sumbangan PMI. Lihat saja dalam proses pembuatan izin Mengemudi, Kartu identitas atau saat pembuatan model seperti itu, sumbangan untuk PMI bukan rahasia lagi dan pasti ada minimal setahun sekali.
Nilainya memang tidak seberapa, tapi kalau dikali berapa jadi berapa jumlahnya, pasti susah menghitungnya. Mestinya pengumpulan dana PMI juga harus diadakan di pintu jalan tol, pasar, mall, restoran, dan dalam bus kota atau kereta api, bahkan dari pintu ke pintu setiap rumah dihuni. Dijamin dana yang terkumpul berlimpah ruah, oh satu lagi di rumah sakit dan puskesmas juga. Pengumpulan dana diluar sekolah lebih berbobot, karena mereka berani menolak, nah untuk siswa sekolah mana mungkin berani menolak itu.
Bilamana seorang siswa sekolah mempunya saudara yang sedang memerlukan tranfusi darah, dan ternyata darah itu harus beli. Kerap golongan darah yang dibutuhkan sedang kosong, kemudian ada setelah melewati perhitungan angka-angka dalam rupiah.Inilah yang jadi permasalahannya, yaitiu jika ada kebutuhan tranfusi darah, darah harus dibeli dengan harga yang lumayan, padahal darah diperoleh tersebut adalah hasil barter dengan segelas susu dan semangkuk mie instan yang ditambah telur. Ini akan menimbulkan pertanyaani, kemana uang yang dikumpulkan oleh PMI tersebut?
Sumbangan demi kemanusian yang selalu disosialisasikan di sekolah-sekolah hanyalah trik, yang sebenarnya adalah lebih mudah dalam pengumpulan dana sumbangan PMI disekolah-sekolah, karena isinya orang bodoh semua dan dianggap tidak tahu apa-apa. Kalau dianggap bodoh masih masuk akal, karena seyogyanya kalau sudah pintar buat apa sekolah? Kalau tidak tahu trik PMI itu belum tentu. Mereka yang membayar karena dimediasi oleh para guru sekolah masing-masing.
Cara bijak PMI untuk mengumpulkan dana disekolah sebaiknya dibarengi oleh suatu hal menguntungkan bagi siswa yang memberikan uang jajanya, misalnya menjual pensil sedikit diatas harga pasar , dengan catatan keuntungan akan digunakan oleh PMI dalam kegiatannya. Ini lebih bermartabat dibanding cara-cara sebelumnya yang persis seperti pengemis galak yang harus menodongkan pisau untuk mendapatkan sesuap nasi. Coba, apa bedanya !! bedanya adalah PMI lebih resmi dan diketahui oleh pemerintah perihal sumbangannya. Itu saja bedanya..!
Satu hal lagi yang menjadi tanda tanya besar dan belum terjawab hingga saat ini, adalah kenapa darah yang diperoleh gratis saat diperlukan dikenai biaya???
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content