Tepat jam enam pagi, pintu imigrasi Bukit Kayu Hitam dibuka. Bukit Kayu Hitam yang terletak di negara bagian Kedah ini, merupakan salah satu pintu perbatasan Malaysia dengan Thailand. Kami berdua pun mengantri untuk mendapat cap keluar dari Malaysia di paspor saya.
Pagi ini cuaca cukup dingin. Kamipun bergegas masuk kembali ke dalam bis. Setelah semua penumpang masuk ke dalam bis, bis pun melaju ke arah Sadao, gerbang imigrasi Thailand selatan. Jarak imigrasi Malaysia dan Thailand adalah sekitar 500 meter. Di antara jarak tersebut, di sisi kiri nampak Kedai Bebas Cukai yang telah buka. Di bagian kanan merupakan markas Tentera Darat Diraja Malaysia atau Angkatan Darat Malaysia.
Pemandangan Kota Hat Yai.
Tidak sampai lima menit, kita telah sampai kantor imigrasi Sadao, Thailand. Kondektur bis meminta semua penumpang untuk turun dan membawa barang bawaan. Sambil menenteng ransel kecil, saya pun turun untuk mengantri. Setiap warga asing yang akan masuk Thailand, akan diambil foto wajahnya melalui kamera yang terdapat di depan petugas imigrasi. Di paspor, terdapat cap dan tanda mendapatkan 15 hari untuk masa tinggal di Thailand. Berbeda dengan visa yang didapatkan melalui bandara, akan mendapatkan 30 hari masa tinggal. Lalu, saya memasukkan ransel saya ke dalam mesin pemindai.
Kemudian saya mencari bis yang saya tumpangi dari Golden Mile Complex Singapura di tempat parkir. Untuk kedua kalinya saya pergi ke Hat Yai setelah dua bulan sebelumnya, saya mengunjungi Hat Yai melalui Penang. Perjalanan yang tidak terlalu melelahkan. Berangkat dari Singapura pukul enam sore, sehari sebelumnya. Sampai di imigrasi Bukit Kayu Hitam sekitar pukul dua pagi. Ada waktu untuk beristirahat di dalam bis. Lumayan lelap tidur saya rupanya.
Sambil menunggu, saya pun melihat suasana sekitar imigrasi Sadao. Dibanding dengan Malaysia, Sadao tampak lebih kotor dan semrawut dibandingkan dengan suasana Bukit Kayu Hitam tetangganya.
Saya pun memundurkan jam tangan saya satu jam, mengingat waktu Thailand adalah satu jam lebih lambat dari Malaysia. Waktu di Thailand sama dengan Waktu Indonesia Bagian Barat.
Setelah penumpang memenuhi tempat duduknya kembali, bis melaju ke arah Hat Yai. Saya pun melanjutkan tidur kembali. Masih mengantuk rupanya.
Saya terbangun ketika bis memasuki kota Hat Yai. Hat Yai sendiri merupakan kota terbesar di provinsi Songkhla. Meskipun bukan sebagai ibukota provinsi Songkhla, namun Hat Yai lebih dikenal dibanding ibukotanya sendiri, Songkhla.
Bis berhenti di agen tempat penjualan tiket bis. Setelah turun dari bis, saya menanyakan ke petugas mengenai jam keberangkatan bis ke Singapura esok hari. Ternyata bis akan berangkat pukul 12 siang. Saya dan teman saya berkeliling mencari hotel untuk menginap semalam. Setelah menanyakan harga kamar ke beberapa hotel, akhirnya kami mendapatkan hotel yang cukup murah, yang terletak di depan agen bis.
Ternyata, waktu check in di hotel saya menginap adalah pukul 12 siang. Jam di tangan saya menunjukkan waktu delapan pagi. Kami bergegas mencari restoran halal di seputar hotel untuk sarapan. Sangat mudah mencari restoran halal di Hat yai. Banyak komunitas muslim Thai atau Melayu di kota ini.
Setelah selesai sarapan, kami mencari kendaraan yang bisa kami sewa untuk keliling Hat Yai. Ternyata tidak ada tempat persewaan sepeda motor. Yang ada hanyalah sewa mobil sedan ber-AC plus supir termasuk bensin seharga 900 baht (sekitar Rp282.000,-) untuk enam jam atau mobil bak tertutup (menggunakan terpal) sebagian di bagian belakang dengan sopir dan bensin seharga 800 baht (sekitar Rp250.000,-) untuk delapan jam. Pilihan kami jatuh ke alternatif pertama.
Setelah 15 menit menunggu, mobil sedan pilihan kami datang. Berhubung waktu kami hanya enam jam, maka kami memilih tempat wisata yang populer di kalangan wisatawan. Supir yang mendampingi kami tidak dapat berbahasa Inggris, namun bisa berbahasa Hokkian dengan baik. Syukur sekali, teman saya dapat berbahasa Hokkian dengan baik juga, sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik.
Wat Hat Yai Nai.
Pilihan pertama kami adalah mengunjungi Wat Hat Yai Nai. Patung Buddha tidur ini bernama Phra Phuttha Hattha Mongkho dan diyakini sebagai patung Buddha tidur terbesar ketiga di dunia. Suasananya sangat sepi, hanya kami berdua yang datang. Seorang wanita langsung menghampiri kami sambil membawa hio, dia menanyakan apakah kami akan berdoa. Teman saya hanya bilang bahwa kami ingin melihat-lihat kuil saja. Setelah melihat lihat suasana kuil dan mengambil beberapa foto, kami bergegas untuk pergi ke tempat lainnya. Wanita tadi menghampiri kami kembali untuk mengajak kami masuk ke dalam ruangan yang berada tepat di bawah patung Buddha tidur, namun kami menolak.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Laem Samila atau Pantai Samila. Di pantai ini terdapat patung putri duyung berwarna emas. Awalnya, pantai ini tidak ada patung putri duyung, hingga akhirnya di tahun 1966, seorang seniman dari Bangkok membuat patung yang terbuat dari perunggu dan dicat warna emas. Banyak wisatawan termasuk kami berdua berfoto di patung ini. Akhirnya, patung putri duyung ini menjadi ikon pantai Samila.
Pantai Samila dengan pasir putih ini sangatlah bersih dengan ombak yang tenang. Selain patung putri duyung, ada patung lain yang terdapat di pantai ini, yakni patung tikus dan kucing. Kedua patung ini menceritakan legenda asal usul daerah Songkhla. Sementara itu, ada patung pria yang sedang membaca buku sambil menyilangkan kaki.
Kami sempat belanja cinderamata di pantai ini. Harga-harga cinderamata termasuk murah untuk ukuran tempat wisata di sini, kami baru mengetahui ketika pada malam harinya kita berbelanja cinderamata di Hat Yai.
Selanjutnya, supir kami menyarankan untuk masuk ke dalam Songkhla Aquarium. Kami sempat melihat suasananya dan kami memutuskan untuk tidak masuk. Kami pikir Sea World di Ancol jauh lebih cantik.
Perjalanan berlanjut tak jauh dari pantai Samila maupun Songkhla Aquarium, kami ingin melihat bukit Tang Kuan. Yakni kuil Relic Buddha yang terdapat di atas bukit. Dengan membayar tiket 60 baht (sekitar Rp18.800,-) per orang pulang-pergi, kami harus menunggu lif atau kereta yang membawa kami ke atas bukit. Bentuk lif ini mirip seperti tram yang berada di Penang Hill, Malaysia—hanya dalam skala lebih kecil.
Selama menunggu, seorang fotografer membidik kami, sambil menyuruh kami untuk tersenyum.
Sekitar 15 menit kemudian, kami masuk ke dalam lif ini, yang berdaya tampung sekitar 20 orang. Untuk yang takut ketinggian, disarankan tidak melihat kaca bagian belakang. Sekitar satu menit kemudian, kami mencapai puncak bukit Khao Tang Kuan. Saat akan keluar dari bangunan lift, lagi-lagi seorang fotografer meminta kami untuk tersenyum. “Klik!”, kami pun difoto lagi.
Untuk mencapai puncak bukit, tidak hanya menggunakan lif, kita bisa mencapai lewat jalan setapak. Namun, dengan cuaca panas seperti ini, saya tidak menyarankan anda melakukannya.
Dari atas bukit, kita dapat melihat kota Songkhla maupun Danau Songkhla, termasuk Pantai Samila. Setelah berfoto sana-sini, kamipun memutuskan untuk turun.
Sesampai di lobi bawah, pengunjung digiring untuk melihat hasil jepretan fotografer mereka. Ternyata, foto kami dicetak di piring kecil dengan peyangga. Kami tidak ambil, karena satu piring di hargai 200 baht (sekitar Rp62.800,-), mahal sekali buat kami.
Saat kami keluar, kami melihat penjual es serut. Mirip es campur atau es teler. Cukup membayar 20 baht (sekitar Rp6.280,-) per mangkok. Lumayan untuk mendinginkan tenggorakan yang kering akibat panasnya cuaca.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju danau Songkhla. Di tengah danau terdapat Pulau Ko Yo. Pulau ini tidak seberapa luas, untuk mencapainya harus melewati jembatan Tinsulanond.
Perjalanan sendiri memakan waktu 30 menit, karena supir sempat salah jalan, sehingga kami harus berputar putar untuk mencari jalan kembali.
Tak lama, kami sudah mencapai jembatan Tinsulanond. Jembatan ini sangat bagus dan kelihatan kokoh. Penduduk Ko Yo sangat mengandalkan jembatan ini untuk mencapai daratan utama. Mereka tidak perlu menggunakan kapal feri lagi seperti dulu.
Saat mencapai pulau Ko Yo, kami melihat di sisi kiri jalan, adanya patung tidur Buddha yang terbuka. Nampak baru selesai dibangun, karena banyak sisa puing di sana sini.
Kami memutuskan untuk kembali kota Hat Yai, karena kami berdua merasa ngantuk dan capek sekali. Di dalam mobil, kami langsung terlelap dengan hembusan AC yang dingin. Keluar dari jembatan Tinsulanond, tiba-tiba hujan deras mengguyur kota Songkhla. Kami tidak bisa membayangkan, seandainya kami menyewa mobil bak terbuka, bisa-bisa kami malah kehujanan dan masuk angin.
Tidak terasa enam jam telah berlalu, dan kami pun sampai di hotel di mana kami akan tinggal. Ya, Hat Yai cukup besar sebagai kota yang bukan ibukota provinsi. Banyak hotel berbintang dan beberapa pusat perbelanjaan.
Banyak wisatawan yang berkunjung ke Hat Yai ini, meski untuk perjalanan pada hari yang sama maupun yang tinggal menginap semalam seperti kami. Ingin meluangkan waktu di Hat Yai? Tidak ada salahnya mencoba.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content