Cerita Seks Terbaru 2012 [Tasya Yang Imut]
Sejak masih kelas 1 SMP, Tasya sudah terlihat cantik. Dulu tubuhnya mungil. Berkulit bersih. (Bagi umumnya orang Jawa, kulitnya sudah termasuk putih) Di antara cewek sekelasnya kecantikannya paling menonjol. Tasya menjadi pusat perhatian juga karena kecerdasannya. Itu diakui oleh teman-teman dan para guru. Tetapi kekurangan Tasya adalah, dia cewek pemalu. Tidak PD. Bila didekati cowok, salting (salah tingkah) . Karena kekurangannya ini, Tasya tak punya banyak teman cowok. Meskipun sebenarnya banyak yang naksir berat sama dia.
Diam-diam salah seorang gurunya menaruh hati pada cewek mungil ini. Pak Wid, yang di usia 40 masih sendiri. Bujang Lapuak, kata orang Minang. Sebagai guru, dia tahu diri, sadar usia, maka yang bisa dilakukan hanya sebatas menggoda atau kadang-kadang memberi tugas ringan, mengambilkan tas di kantor atau disuruh foto kopi soal di koperasi sekolah. Bagi Pak Wid, yang penting bisa dekat, bisa bicara dan kalau bisa, …. sedikit menyentuh tangannya atau mencubit pipinya. Itu sudah cukup. Begitu terus sampai kelas tiga dan lulus, Pak Wid belum berhasil pedekate. Bahkan sampai lulus!!!
Di mata para siswa, dia guru yang menyenangkan, berjiwa muda, pandai bikin lelucon segar saat mengajar dan ….. murah hati. Maka ketika mereka sudah lulus, masih sering mengunjungi rumah Pak Wid yang tinggal di situ ditemani ibunya yang sudah lanjut usia. Tidak heran jika acara reuni pertama mereka setelah 3 tahun meninggalkan SMP tercinta, diselenggarakan di rumah Pak Wid. Sederhana tetapi meriah. Acara demi acara lancar dan meninggalkan kesan yang mendalam. Hampir seluruh siswa hadir. Tidak terkecuali TASYA. Pak Wid belum melupakan Tasya. Guru jomblo itu masih memegang teguh tekadnya untuk mendapatkan Tasya.
Acara reuni sudah selesai. Sudah banyak yang pulang. Pak Wid berusaha menahan sebentar agar cewek pujaannya itu tidak pulang dulu. Bujangan tua ini sudah menyiapkan trik menarik, dia berharap bisa berhasil.
“Tasya, jangan pulang dulu. Sebentaaaar saja.”
“Ada, apa Pak.” Tasya menahan langkahnya di tangga teras.
“Mumpung kamu pakai pakaian cantik, aku mau ambil gambarmu.”
“Ah, malu, Pak!” Tasya langsung sembunyi di balik tubuh Kiki yang ada di dekatnya. Tetap saja dia masih pemalu.
“ Dewi, Sumi dan Andre, temani Tasya. Dia malu foto sendirian.” Masih terasa wibawa Pak Wid sebagai guru. Beberapa anak bergaya di depan kamera. Tetapi Pak Wid hanya meng- close up Tasya saja. Mereka nggak tahu tipuan itu.. Selesai foto mereka keluar dari teras menuju motor masing-masing. Pak Wid melambai ke Tasya juga. Dia membocengkan Kiki, sahabat dekatnya. Akhirnya rumah itu sepi. Tetapi Pak Wid masih berdiri di pintu pekarangan. Ada sesuatu yang ditunggu. 2 menit, 3 menit sampai 7 menit tak ada apa-apa. Pak Wid melangkah masuk, tiba-tiba langkahnya terhenti dan menoleh. Dia mendengar suara sepeda motor mendekat. Pak Wid tersenyum. Pasti anak itu mau ambil helm yang sengaja disembunykan agar cewek pujaan htinya yang pemalu itu kembali saat yang lain sudah pulang.
“Aduuuuh, Pak, helmku di mana ya?” Tasya bertanya dengan cemas.
“Lho, sudah sampai di mana? Kok baru ingat kalau nggak pake helm?” Pak Wid pura-pura heran.
“Gara-gara saya difoto-foto tadi, jadi saya tertinggal teman-teman.” Tasya cemberut, dia protes. “Aku pake topi serasa pake helm.Ternyata belum pake helm. Untung Kiki mengingatkan.”
“Wah, sorry Tasya. Betul juga kamu. Kalau masih banyak teman kan bisa bertanya .” Pak Wid mencoba menenangkan kepanikan cewek cantik itu. “Masuk sana! Dicari di dalam. Seingat kamu ditaruh di mana?”
“Tadi di stang motor!” Tasya sangat yakin. Wajahnya menampakkan kecemasan.
“Ya, siapa tahu ada yang meminjam tapi mengembalikan di tempat lain?” Pak Wid menjawab dengan kalem.
Tasya masuk kembali ke rumah. Kiki ikut mencari. Pak Wid juga “ikut-ikutan” mencari. Tapi tidak ada.
“Sudah, pake saja helm ku. Itu di motorku!” Pak Wid menawarkan jasa. Tasya ragu sejenak, tetapi merasa lega. Minimal dia bisa pinjam dulu untuk pulang.
“Pinjam dulu, ya Pak?” mengambil helm yang ditunjukkan gurunya.
“Bawa saja, aku punya dua kok.” Pak Wid menjawab tenang. ”Tapi duduk dulu sebentar dong.”
Karena merasa berhutang budi. Tasya menurut dan duduk bersama Kiki. Pak Wid mengumpulkan keberanian untuk memulai triknya.
“Hmm…ehm..Kiki dan Tasya rencana mau kuliah apa kerja.” Dia membuka pembicaraan.
“Kerja, Pak.” Kiki menjawab pendek. “tapi sambil sekolah.”
“Bagus…… jangan menganggur terlalu lama. Bahaya. Makin lama makin susah cari kerja.”
“Aku juga mau cari kerja, Pak. Tapi di mana…..carikan to, Pak!” Tasya tampak putus asa.
“Apa tujuan kamu kerja?” pancing pria bujangan itu cerdik.
“Ya mengembangkan ilmu yang diperoleh di sekolah.” Cerdas dan tangkas Tasya menyahut.
“Good. Jawaban yang cerdas.” Guru tua itu mengacungkan jempol supaya Tasya bangga.
“Kalau kamu, Kiki…………..?”
“Golek duwit, Pak” singkat saja Kiki menjawab.
“Betul, kamu Ki. Pinter. Akhirnya…..ujung-ujungnya…….” Dia sengaja berhenti untuk memancing reaksi.
“Du…wit!” Kiki dan Tasya menjawab bareng disusul tawa mereka meriah. Pak Wid puas. Umpan masuk!
“Kamu sudah tahu kan, waktu PPL, berapa upah minimum karyawan” Pak Wid menunggu.
“Nggak tau, Pak” Kiki bingung. wajah dan otaknya memang pas-pasan. Mudah bingung.
“Kalau yang saya dengar, 150 apa 600, nggak begitu jelas.” Tasya mencoba mengingat.
“Ya hampir mendekati betul. Upah seminggu 150 ribu . Jika sebulan ya 600 ribu.” Pak Wid memperjelas.
“Wah, besar sekali.” Kiki heran. Pak Wid juga heran, kenapa uang segitu dianggap banyak?
“Uang sekolah kita saja 100 ribu, transport 100 ribu. Ya kecil lah, Ki….” Tasya memprotes Kiki.
“Uang segitu hanya pas untuk makan, Ki” Pak Wid menjelaskan.”Padahal kita punya banyak kebutuhan lain.”
“Sudahlah, kamu memang belum perlu mikir seperti itu. Yang penting kamu kerja. Wis”
“Lha yo kuwi Pak, kerja apa? Beli pulsa sebulan aja sudah 50 ribu. Belum beli bedak, jajan” Tasya menghitung.
“Ada kabar baik dan kabar buruk.” Pak Wid mulai menebarkan racun. Dua cewek itu diam memperhatikan dengan serius. “Yang baik dulu apa yang buruk dulu?”
“Yang baik dulu Pak” Kiki usul tetapi dibantah oleh Tasya. Keduanya terlibat perdebatan seru. Baik dulu, apa buruk???
“Sudahlah, aku beri tahu yang buruk dulu?” diam sejenak…….hening….serius
“Aku punya lowongan kerja?”
“Horeeeeee……..!” dua cewek itu berteriak gembira tetapi sesaat kemudian kaget sendiri terus diam.
“ Ini kan kabar buruk? Piye to Pak. Ada lowongan kerja kok kabar buruk” Kiki bingung lagi menatap gurunya penuh tanda tanya. Pak Wid membiarkan keduanya tercekam rasa penasaran.
“Buruknya…… kamu belum tentu mau kerja. Males. Enak di rumah. Ya…..kan??”
“Ah, eng….gak…lah. Kerjo kok males. Susah-susah cari kerja. Sudah dapat kok malah males.” Kiki ngedumel.
“Itu kabar baik,” Tasya meluruskan. “ Bagiku….pekerjaan itu menyenangkan. Trus, kerja apa itu, Pak.” Tasya penasaran.
“Lho, nggak ingin tahu kabar baiknya…..?” pancing Pak Wid yang membuat dua cewek lugu itu semakin penasaran terhadap gurunya yang “baik hati” itu.
“Apa……Pak….he…he….he…..” Kiki tertawa senang. Yang buruk saja menyenangkan. Apalagi ini….”
“Ya iya lah!” Tasya juga penasaran.
“Baiknya….. pekerjaan itu ada upahnya…..”
“Aaaaahh…..yo mestiiiiiiiiiiiiiii ” kedua cewek itu memukuli punggung gurunya yang “nakal” Senang sekali Pak Wid
“Belum selesai …sudah main pukul…” pura-pura dia marah, “Kalau di pabrik upahnya 600 ribu sebulan. Tetapi pekerjaan yang aku tawarkan ini …upahnya cuma 200 ribu …..”
“Huuuuuuuuuuuuuu………” langsung mereka cemberut, tapi hanya sesaat karena guru itu melanjutkan, “ SEHARI!”
Aku ulangi Se….haaaaa…….ri”
“Haaaaa…? 200 ribu rupiah sehariii? Gek kerjo opo….kuwi?” spontan dan hampir bersamaan mereka bertanya
“Ringan….. tidak memerlukan pikiran dan tenaga yang berat. Hanya perlu sedikit keberanian dan…. tekad yang kuat. BEKERJA….DEMI UANG. “ Bau “racun” itu sedap sekali…. Sewangi “janji surga”
“Kerja apa to, Pak? Aku kok ora mudeng?” Kiki betul betul bingung.
“Pokoknya siapa yang mau kerja, Ayo, ikut aku! Tidak bisa ditunda. Besok sudah direbut orang lain. Siapa yang mau ?”
“Aku…Pak” keduanya menjawab serempak. Mereka bingung, tapi juga takut kehilangan kesempatan.
Pak Wid membawa keduanya ke sebuah hotel melati. Dipesan satu kamar yang besar dan cukup sinar dari jendela. Di tempat itulah kedua cewek itu baru tau bahwa mereka akan difoto. Mula-mula foto biasa. Masih berpakaian lengkap. Mereka bergaya dengan bangga. Selesai dua tiga cepretan. Uang 10 ribuan dibagi. Lepas sepatu dan kaos kaki, berani. Klap! Klap! Klap! Dapat 15 ribu, Artinya naik 5 ribu. Lepas baju luar, masih pakai kaos atau rangkapan dalam. Tambah lagi 5 ribu. Tak terasa sekarang tinggal Bra dan CD. Pada tahap inilah mereka mulai alot dan bertahan. Bahkan minta berhenti.
Pak Wid melambaikan lembaran uang berwarna biru kea rah Kiki. Karena terus ragu-ragu, Pak Wid menyelipkan uang itu di belahan dada Kiki. Dia sudah pegang 45 ribu. Sekarang di dadanya ada 50 ribu. Wah, hampir 100 ribu. Dengan mantap Kiki melepas bra-nya. Uang itu ditaruh di dompetnya. Susunya masih kecil. Tapi bagi Pak Wid yang penting Kiki berani lepas bra. Ini akan mempengaruhi Tasya. Klap! Cuma sekali. BH Kiki dikembalikan. Kiki mengenakan kembali.
Tasya berpikir. Apa susahnya? Hanya difoto sekali. Dapat 50 ribu. Lalu boleh pakai beha lagi. Pak Wid tidak menunggu Tasya. Lembaran itu langsung diselipkan di belahan susu Tasya. Tasya ragu-ragu sejenak dan …… melepas juga. Beha dilempar ke tempat tidur. Sambil memberi aba-aba dan mengarahkan Tasya untuk bergaya, diam-diam Pak Wid menyembuhyikan beha itu di bawah bantal. Dada Tasya biasanya tampak rata jika pakai seragam itu, ternyata…. Buesar! Pak Wid terpana! Klap! Klap! Dari samping Klap! Tak disangka, cewek kecil dan cantik ini menyembunyikan keindahan yang……dahsyat! Tasya disuruh duduk, dipotret dari atas. Klap! Benar-benar bulat dan putih. Tanpa membiarkan Tasya berpikir Pak Wid menyelipkan lembaran merah 100 ribuan ke CD Kiki. Melihat Tasya sudah mondar-mandir dengan dadanya yang besar tanpa malu-malu, Kiki tumbuh keberanian. Dipelorotkannya CDnya. Tampaklah memiawnya yang masih berjembie tipis. Klap!Klap! Kiki disuruh berbaring bugil. Klap! Tasya mencari-cari behanya, tapi tak menemukan. Kedua tangannya tak mampu menyembunyikan bukit-bukit putihnya itu. Tetap tumpah ke luar. Sambil terus memotret Kiki Pak Wid berpikir terus, bagaimana membujuk Tasya melepas CD nya.
“Aku nggak bisa Pak.” Rengek Tasya ” Malu…to Pak.” Wajahnya tampak memelas.
“Jangan malu, Kiki yang motret dari depan. Aku di belakang kamu.” Kuselipkan lembaran merah di CD putihnya. Pak Wid menarik Tasya menjauhi Kiki. Kamera diberikan kepada Kiki yang bingung tidak tahu caranya.
“Pencet aja tombol kecil di atas itu, Yak, sekarang.” Pak Wid menyemangati Kiki. Tasya masih bertahan tidak mau melepaskan satu-satunya penutup tubuhnya itu.
“Liat, Kiki tidak bisa motret. Kamu aman tidak kena. Jadi kenapa malu.” Pak Wid terus membujuk sambil memegang kedua tangannya agar melepas CDnya. Akhirnya tangan kiri Pak Wid bisa menurunkan CD sampai di atas lutut. Spontan Tasya menutup kemaluannya dengan kedua tangannya.
“Duuuuh….maluuuuu” terus Tasya merengek. Kubisikkan di telinganya “Ssssttt…ada tambahan uang 200 rb…tapi jangan sampai Kiki tahu……” Tasya mengendorkan pertahanannya
“Nanti selesai kuberikan….tapi jangan bilang Kiki….” Bisik Pak Wid sambil menurunkan CDnya. Sulit tapi akhirnya lepas. Dikantonginya CD putih bertuliskan “tasya” di kantong celana. Kamera diambil alih.
Penampakan yang luar biasa. Impian 6 tahun kini menjadi kenyataan. Cewek cantik ini sekarang ada di hadapan Pak Wid tanpa selembar benang pun! Klap! Klap Klap! Tempiknya masih kuncup kecil dengan jembut tipis. Hmmm…..imuuut banget. Dadanya bulat, putih..perut ramping kecil…..
“Tasya, pakai dua tangahnmu untuk membuka “itu”mu!” perintah si fotografer. Tasya patuh. Di jembrengnya kemaluannya hingga nampak bagian dalamnya yang merah. Pak Wid menyuruh Tasya berbaring. Klap! Pahanya mulusss. Klap! Close up lubang kemaluan. Klap!
Tahap awal sudah selesai. Uang yang dijanjikan diberikan. Dengan rasa senang dan rasa aneh, dua cewek ABG itu menerima uang hasil “pekerjaan” mereka hari itu. Pak Wid tetap sadar diri. Tidak menyentuh “boneka” kesayangannya itu…. Sekarang belum saatnya. Dia ingin menanamkan rasa aman di hati Tasya. Tasya harus yakin, bahwa Pak Wid tidak berbahaya. Tapi Pak Wid masih punya keinginan membara, malahan semakin menggila.
*******
Tiga bulan setelah itu, Tasya menelpon “tukang foto” itu.
“Pak, kok tidak ada pemotretan lagi. Uangku udah habis.” Suara Tasya di sana. Berbunga-bunga lelaki tua itu mendengar suara merdu di seberang sana. Segala perlengkapan disiapkan Handycam dan kamera. Sebelum dimulai, melalui hape terjadi tawar-menawar harga. Akhirnya setuju 300 ribu? Deal! Tempat di hotel yang sama.
Tidak menunggu lama Tasya datang sendiri. Bawa motor sendiri. Tasya pakai celana panjang, baju kotak-kotak, baju itu tampak kebesaran. Maksudnya untuk menyembunyikan dadanya yang besar itu. Tasya memang cewek yang tidak percaya diri. Punya “kelebihan” kok disembuyikan. Ada perubahan nyata pada sikap Tasya. Tanpa malu-malu dan tanpa disuruh dia melepas sendiri semua pakaiannya. Sampai-sampai Pak Wid menahannya.
“Stop. Bertahap Tas….. Bagian atas dulu pelan…. Muter…..Naah……lepas yang bawah……”
Sessi pertama adalah pemotretan di kamar mandi. Pak Wid pengin memandikan cewek cantik ini. Melihat dari dekat, merabai seluruh permukaan kulit cewek ABG. Oooh …. bagaimana rasanya??? Tanpa membantah, Tasya membawa handuk yang diterima dari Pak Wid. Siang itu memang panas sekali. Mandi dapat menyegarkan tubuh.
Disabuninya kulit mulus itu. Tangannya kini merasakan secara langsung bagaimana halus dan empuknya bukit kembar yang indah itu. Tasya memandang dengan penuh perhatian dadanya yang dibelai. Ooooh…nikmat!
Oohhh….besaaar... empuuk…Putingnya yg merah itu jadi tegak, Karena diremes-remes Tasya merinding. Lubang di bawah jadi terasa lembab. Tangan gurunya ini bener-bener usil. Lereng-lereng bukit kembar itu dielus dan ditelusuri. Tasya terbuai sampai matanya merem sesaat. Pak Wid lalu jongkok, tanpa dapat dicegah oleh Tasya, mulut lelaki tua itu melahap bibir bawahnya. Karena nikmatnya, sampai Tasya mengangkat-angkat sebelah kakinya. Apalgi saat- dua serangan dilancarkan bersamaan. Tasya hanya dapat menggigit bibir. Untuk mengerang dia malu. Setalah tubuhnya diguyur air dan bersih dari bursa sabun, kembali mulut lelaki tua itu mencari sasaran baru. Acara “mimi cucu” mulai.
Tasya memandang ke bawah dengan tatapan takjub, bibir lelaki tua ini bisa mendatangkan kenikmatan ..ooh! Tasya membiarkan dua payudaranya yang super itu bergantian dikenyot “bayi nakal” sampai puas.
“Tasya, tolong lepaskan celanaku. Gerah sekali” Lelaki tua itu sudah merasa perlu untuk meningkat ke permainan berikutnya. Dari tanda-tanda dan basa tubuh, diketahui cewek abg ini sudah “menunggu dipetik”
“Ha? Jangan….Pak! Saya…nggak enak.” Tetapi dalam hati ia ingin tahu, “Kaya apa sih…?”
“ Aku saja nggak apa-apa, kok kamu nggak enak.” Pak Wid memaksa. Tasya melepaskan celana juga CD gurunya dan….. Ha? Ada benda aneh…. Coklat, panjang. Tasya merem. Pura-pura takut. Pak Wid menuntun jari-jari Tasya untuk mengurut-urut “burungnya” dengan sabun.Masih dengan mata terpejam dan ragu-ragu Tasya mengurut benda aneh itu. Makin lama terasa mengembang dan bertambah besar. Telapak tangannya tak muat lagi. Rasa-rasanya benda ini bertambah panjang terus. Tasya membuka matanya dan terkejut…hiiii…..kok jadi segede ni? Penampakan itu menimbulkan rangsangan hebat. Tubuhnya bergetar, darahnya mendesir-desir lebih cepat. Karena terserang “demam” tak dirasakannya tangan gurunya yang nakal itu mengusap-usap vaginanya. Sentuhan di vegi nya itu menambah hebat rangsangan birahinya. Ia ingin melenguh tapi malu. Maka hanya bisa menggigit bibir.
“Aduh, Pak. Sudah, Pak.” Ketika sampai di puncaknya dia tak tahan lagi. Tanpa disadarinya pinggulnya bergoyang. Lelaki tua itu paham betul. Tasya sudah “on” Dia berjongkok. Lubang kemaluan yang masih rapat itu dibuka dengan sapuan lidahnya. Jempol kaki Tasya tegak ke atas, menahan setrum ribuan watt dari lidah si tua bangka itu. Matanya tak lepas dari TKP, dilihatnya lidah itu menari-nari di lubangnya. Menusuk-nusuk bagaikan jari yang basah dan hangat. Tangan Tasya erat meremas sabun di tangannya. Sabun hotel yang tipis itu sampai putus dan hancur. “Penderitaan” Tasya semakin parah ketika dua tangan keriput dan hitam meremas bukit kembarnya yang super besar itu. Ooo…gila, mengapa bisa senikmat ini. Sinyal gelombang kenikmatan itu datang silih berganti dari dada, dari vegi terus menerus. “Sudaaaaahhhh Paaak!” tetapi yang terdengar di telinga guru bejat itu adalah ‘”Teruuuussss Pak!”
Pak Wid keluar dari kamar mandi. Tasya ditelentangkan di kasur. Pahanya yang putih mulus terpampang indah. Di tengah-tengah selangkangan yang putih itu terlihat kemaluannya seperti segitiga terbalik. Segitiga itu dihiasi jembut tipis. Kembali lubang kemaluan gadis kecil itu dikelamut habis-habisan. Tasya sudah tidak melawan lagi. Pak Wid mengangkangi tubuh Tasya yang kecil. Tasya membuka pahanya yang putih mulus, dengan pandangan mata yang pasrah.
“Pak, jangan dimasukkan dalam-dalam ya?” Pintanya mengiba. Tasya tidak tahu bahwa kalau benda tumpul itu sudah masuk, sedalam apa pun rasanya sama saja (enaknya). Pak Wid mengangguk.
“Lima senti cukup, Tasya . Nanti kalau terlalu dalam bilang ya?”
Mula-mula dipukul-pukulnya “kentongan” itu dengan “pemukul” ajaibnya. Plak, plak, plak. Lalu helm itu dipakai untuk nguleg itilnya merah yang mekar mengembang.
“Duuuuh….sakiiit. Jangan diuleg-uleg, Masukkan saja, Pak” terdengar merdu rintihan cewek ini.
Berkali-kali benda coklat itu gagal penetrasi. Kembali lidah sutera bertindak membasahi “jalan ke surga”
Coba lagi dimasukinya, sekarang lubang “kentongan” itu semakin licin.Kemaluan Viani mengeluarkan pelumas sendiri. Putih bening sehingga Pak Wid bisa masuk sedikit.
“Aduuh…jangan dalam-dalam, Pak…..” Pak Wid selalu menafsirkan kebalikannya.” Kurang dalam, Pak” Ditekan lagi, maju sedikit demi sedikit. Tiba-tiba Tasya menjerit lirih
“Aaaauuu…… sakiiiiit….jangan sampai robek ya Pak” rintihnya polos sekali. Padahal Sudah robek. Oh Tasya … Tasya, apakah kamu tidak tahu gurumu sudah mengambil kesucianmu?.
Dengan pecahnya selaput perawan itu, kini lancarlah jalan ke surga. Pelaaaann… dan lambat. Akhirnya semua bagian dari penis laki-laki tua itu masuk. Tasya mendongak dan menggigit bibir. Tetap jaim. Dia berusaha tidak mengeluarkan erangan. Tapi jari-jari kakinya jelas terlihat tegang meregang. Jari tangannya erat meremas kasur. Itu tanda yamh jelas kalau cewek jaim itu menahan hebat kenikmatan yang dirasakannya. Pak Wid kini bergerak naik turun, naik lagi, turuuuun lagi dengan halus.
“Pak jangan dalam-dalam…..ya…..Bapakku sudah wanti-wanti…….jangan sampai ….adduuuuh…” Tak bisa menyelesaikan ucapannya Tasya “terganggu” lewatnya arus “listrik 100 megawatt” diseluruh jaringan syarafnya.
“Jangan apa, cah ayuuuuuu……” Pak Wid semakin menikmati “living reality” mimpi yang jadi kenyataan.
“Kalo robek aku nggak perawan lagi oohh….sakiiit” tusukan itu menjawab protes Tasya. Pak Wid ingin ganti posisi. Tapi tidak berani menyuruh Tasya nungging .takut macem-macem, kuwatir Tasya protes. Yang penting sekarang hasratnya terpenuhi dulu. Tanpa bilang-bilang penisnya dicopot begitu saja lalu berdiri di samping tempat tidur. Tasya yang baru larut dalam kenikmatan tentu saja kaget dan kecewa. Tapi tetap saja jaim dia.
“Sudah selesai, Pak.” Yang diucapkan, tetapi dalam hati berkata, “Kok sudah Pak?”
“Sudah, aja, nanti kamu nggak perawan lagi. Wis, ya?” Pak Wid menggoda.
“Aaaa….Pak Wiiid nakaal, ya pelan-pelan to Pak. Asal jangan dalam-dalam.” Tasya ketagihan. Laki-laki tua itu bersorak dalam hati penuh kemenangan. Hu…. Akhirnya minta juga!
“Ayo balik badanmu. Sinikan pantatmu! Naah….. gitu. Masih utuh . Masih perawan. Kok. Jangan kawatir.” Pak Wid menjilat semua bekas darah di sekitar selangkangan Tasya. Nah, bersih. Diarahkannya lagi tongkat kenikmatannya ke lubang di tengah pantat putih itu. Enam tahun sudah, perjuangan tak kenal lelah. Akhirnya ….ah…pantat indah ini disodorkan di depanku, Tasya aaa…. Aku masuk lagi.
Kini terasa lubang itu semakin licin tetapi tetap sereeeet dan kenceng. Setiap batangnya mau ditarik keluar, bibir-bibir sexy anak cantik ini mengatup rapat dan menahan seakan mengucapkan “jangan keluar dong-yang” sehingga terasa diurut-urut urat-urat batang kemaluan Pak Wid. Eeeennaaaak tenan.
Pak Wid menyadari murid kesayangannya sudah sepenuhnya terikat dalam jerat kenikmatan yang memabukkan. Bagaikan daya hipnotis, buaian nafsu itu membuat Tasya lupa dan hilang kesadaran. Merasa “jalan” sudah lancar, Pak Wid mempercepat sodokannya. Diraihnya bukit kembar yang terayun-ayun di bawah sana. Diremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Tasya tidak bisa jaga image lagi. Jebollah pertahanannya. Lepaslah kini erangan dan rintihan yang sudah lama ditahannya.
“Ahhhhh….. ssssss…….uuuh…….terusss……aahhh ….”
“Enak ……….. sayaaaaaaang?”
“Enaaaak……sekali….”
“Tasya aaa……. Aku sayaaaang kamu…..cah ayu” Ini saatnya untuk mengatakan, yang terpendam selama ribuan hari dan jam di hatinya.
“Aku juga sayang Pak Wid. Ooooh……..” dalam ketidak sadaran akibat candu sex mulut mungil itu bicara. Pak Wid sudah puas mendengar jawaban itu. Dia tidak perlu memiliki Tasya. Kasihan, dia kan masih sangat muda, Baru 18 tahun. Sekarang dirinya sudah 46 tahun. Terlalu jauh beda usianya. Yang penting sudah diperolehnya saat-saat berharga yaitu keperawanan gadis yang lama diidam-idamkan dan dicintainya. Tusukan demi tusukan menghantarkan Tasya ke ujung perjalanan kenikmatannya. Tanpa disadarinya dia menghentak-hentak maju mundur dengan cepat. Mulutnya terbuka. Kedua payudaranya t erayun-ayun mengikuti gerakan tubuhnya. Nafasnya mmburu. Bintik-bintik keringat memenuhi wajahnya sekitar mulut dan dahi. Jadi semakin cantiiiiik. “Aaaaaaaahhhhh…….huuuuuuuuu hffff………” sambil merapatkan pantatnya erat-erat ke belakang. Pak Wid lalu mencabut penisnya yang berkedut-kedut di bawanya ke depan, ke mulut Tasya yang menganga. “Croootz….croooot” Tasya malah tersenyum bahagia. Mengulum penis yang masih licin itu dan menjilatnya bersih.
Pak Wid memeluk erat muridnya. Bibir mungil itu dikecupnya. Tasya membalas penuh gelora nafsu membara. Suatu perpaduan yang sangat kontras. Cewek secantik dan semuda itu dipeluk dan dicium lelaki tua yang sudah pantas jadi kakeknya. Kulit si gadis putih, kulit lelaki tua itu hitam dan sudah berkeriput. Lama sekali mereka berdekapan. Sampai hape Tasya mengingatkan untuk segera pulang. Pak Wid tidak jadi memberi 300 ribu. Tetapi 5 lembar ratusan. Dia iklas karena merasa sangat puas.
Kapan lagi Tasya telepon? Pasti ….. suatu saat akan didengarnya suara merdu Tasya di hapenya, “Pak ada job nggak?”
Sekian Cerita Seks Terbaru 2012 [Tasya Yang Imut]
Klik Iklan Di Blog Ini Dan Komentar Sangat Membantu Blog Ini ^_^
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content