"I'm bad, and that's good. I will never be good, and that's not bad. There's no one I'd rather be then me." - Ralph
Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap mencuri-curi waktu untuk bermain ding dong di bioskop usai jam sekolah. Saya tidak bisa mengingat secara pasti judul game yang kerap saya mainkan – hanya bisa mengingat bahwa kebanyakan berjenis ‘fighting games’, namun satu yang jelas adalah Street Fighter. Oh tentu saja, ini permainan semua orang, bukan? Ketika akhirnya ‘rahasia kotor’ saya ini terbongkar, orang tua membelikan Nintendo sehingga saya tidak lagi keluyuran dan membuang-buang recehan. Dan, Nintendo ini berjasa merekatkan hubungan antar anggota keluarga. Kami memiliki hari dan jam tertentu untuk bertanding melawan satu sama lain memainkan game mengenai tank yang sialnya lagi-lagi saya lupa judulnya. Tahun demi tahun berlalu, teknologi berkembang sedemikian pesat, Nintendo perlahan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh PlayStation dimana pada tahun-tahun awal saya berhasil diracuni oleh unyu-unyu ‘racing games’ macam Chocobo Racing dan Crash Team Racing. Setelah sempat menjadi maniak game selama beberapa tahun, saya akhirnya meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan demi game demi fokus kepada pendidikan *uhuk!*, dan tentunya hobi saya yang utama, film. Sekian lama tidak menyentuh konsol permainan, hati ini mendadak rindu kala beberapa hari lalu menyimak Wreck-It Ralph di layar bioskop. Tidak menyangka sama sekali jika film yang awalnya sempat saya remehkan ini ternyata mampu merebut hati saya dengan mudahnya dan seketika bertengger di posisi puncak ‘Film Animasi Terfavorit 2012’ bersanding bersama Frankenweenie.
Pernahkah Anda di waktu luang secara iseng memikirkan bagaimana jika para tokoh yang posisinya ditempatkan dalam kubu hitam ternyata melakukan kebiadaban secara terpaksa dan menentang hati nuraninya? Bagaimana jika, secara diam-diam, ternyata mereka sesungguhnya mendambakan cinta, puja-puji, dan penghormatan dari masyarakat? Itulah yang Rich Moore coba untuk kulik dalam Wreck-It Ralph, film animasi ke-52 dari Walt Disney yang sebelumnya meraih kesuksesan melalui Rapunzel. Penonton diperkenalkan kepada Ralph Sang Penghancur (John C. Reilly), ‘villain’ dari sebuah arcade game bertajuk Fix-It Felix, Jr. Tidak seperti para tokoh jahat lain yang ‘legowo’ dan ‘nerimo’ nasib mereka apa adanya, Ralph justru memberontak. Dia ingin berhenti menjadi ‘villain’ dan menginginkan perlakuan seperti yang diterima oleh Felix (Jack McBrayer). Kekecewaan memenuhi dirinya tatkala mengetahui dirinya menjadi satu-satunya tokoh dalam game yang tidak diundang ke dalam peringatan ulang tahun game ke-30. Berakar dari permasalahan ini, Ralph pun berpetualang ke game lain demi memeroleh medali agar diterima oleh karakter lain di Fix-It Felix, Jr. Ralph berkelana di Hero’s Duty, sebuah arcade game modern dengan tampilan grafis 3D-nya yang sangat halus dan detil, dimana medali dijanjikan bagi para tokoh yang mampu menaklukkan serbuan serangga buas. Memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya, Ralph mampu menggenggam medali tersebut dengan mudah. Akan tetapi, apakah dengan medali di tangan, film berakhir begitu saja? Oh, tentu saja tidak, Kawan.
Kecerobohan Ralph membuat salah satu serangga buas dari Hero’s Duty lepas dan bersembunyi di ‘kart-racing game’ bernama Sugar Rush yang membuat saya mendadak rindu kepada Chocobo Racing. Bertolak belakang dengan Hero’s Duty yang memiliki nuansa mencekam, Sugar Rush dihiasi berbagai macam ‘refreshments’ dari mulai kue, permen gulali, cokelat, hingga minuman bersoda dengan tampilan penuh warna yang memanjakan mata. Visualnya sedikit banyak mengingatkan kepada Cloudy with a Chance of Meatballs dan Charlie and the Chocolate Factory dimana warna-warni cantik berasal dari sejumlah makanan yang terhampar di berbagai sudut. Seketika perut saya pun merengek-rengek meminta pasokan cemilan beserta pengairannya. Duh. Di Sugar Rush, Ralph berkenalan dengan bocah bengal bernama Vanellope von Schweetz (Sarah Silverman) setelah medali yang digondolnya dihilangkan oleh Vanellope. Dimulai dari rasa saling membenci dimana keributan-keributan kecil menjadi bumbu penyedap, secara perlahan Ralph dan Vanellope menjadi dekat setelah keduanya mengenal pribadi masing-masing. Sementara itu, para karakter di Fix-It Felix, Jr. kelimpungan dengan menghilangnya Ralph. Arcade game mereka terancam digusur apabila hingga esok hari Ralph tidak kunjung kembali. Felix pun turun tangan mencari keberadaan Ralph dibantu oleh Sergeant Calhoun (Jane Lynch) dari Hero’s Duty yang memiliki misi menghancurkan serangga buas yang secara diam-diam ternyata beranak pinak di sebuah tempat di Sugar Rush.
Wreck-It Ralph secara mengejutkan hadir sebagai sebuah tontonan animasi yang menghibur, menyenangkan, dan menghangatkan. Pada awalnya, saya tidak terlalu menaruh minat kepada film ini terlebih tampilan trailernya kurang mengundang. Tapi, saya berpikir lagi, bukankah film-film dari Walt Disney memang kebanyakan memiliki trailer yang cenderung tidak menggugah selera? Beruntung saya berhasil menepis rasa pesimistis yang sempat menguasai dan nekat melangkahkan kaki ke bioskop pada hari Minggu sore. Pengorbanan yang saya lakukan – hujan deras mengguyur ibukota dan harga tiket yang (naudzubillah) mahal – ternyata membawa hasil. Wreck-It Ralph is really worth to watch! Bahkan saya benar-benar terpesona dibuatnya. Ini adalah tipe film yang saya rela merogoh kocek dalam-dalam untuk menontonnya lagi dan lagi. Di film panjang untuk bioskop pertamanya ini, Rich Moore telah berhasil membuat saya terpana. Tak seperti Rapunzel yang masih menjunjung tinggi gaya penceritaan khas Disney klasik, Wreck-It Ralph telah berkembang menyesuaikan zaman. Dari segi tampilan, film ini telah menyerupai apa yang dicapai oleh Pixar. Bahkan ‘lebih Pixar’ ketimbang Brave yang notabene produk Pixar. Akan tetapi, jalan cerita sederhana nan hangat ala Disney tetap dikedepankan. Dengan perpaduan dua unsur inilah yang menjadikan film terasa sedap untuk disantap.
Ditilik dari segi penceritaan, Wreck-It Ralph tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru. Naskah olahan Phil Johnston dan Jennifer Lee cenderung sederhana dalam menyampaikan kisah. Yang menjadi kunci sukses dari film ini adalah kecermatan tim penulis dalam bertutur ditingkahi penanganan yang cekatan, sumbangan suara yang merasuk ke dalam jiwa setiap tokoh, tim animasi dengan daya imajinasi yang tinggi, serta pemilihan soundtrack yang tepat guna. Selain keceriaan dan keseruan yang mutlak dimiliki film animasi untuk keluarga, film yang didukung oleh AKB48 di departemen soundtrack ini pun tidak luput disuntik ‘serum’ kehangatan layaknya film-film produk Disney lainnya. Sulit rasanya untuk tidak tersentuh – atau jika Anda adalah pribadi yang sensitif, meneteskan air mata – kala menyaksikan persahabatan Ralph dan Vanellope. Siapa yang menduga dibalik sampulnya yang buruk, Ralph adalah pribadi yang hangat. Pesan moral yang masih berkisar tidak jauh-jauh dari kekeluargaan dan persahabatan disampaikan secara halus tanpa ada kesan menggurui. Wreck-It Ralph mengombinasikan sebuah petualangan yang seru dengan komedi cerdas dan drama menyentuh secara padu. Baik penonton cilik maupun penonton dewasa akan mudah jatuh cinta kepada film ini. Ketika penonton cilik bergembira menyaksikan visual yang penuh warna dan petualangannya yang menghibur, maka penonton dewasa bersorak sorai karena humornya yang cerdas, banyaknya referensi terhadap budaya pop serta nostalgia yang diusungnya. Sebagai sebuah penghormatan terhadap arcade game tahun 1980-1990’an, dihadirkan cameo tokoh-tokoh dari Super Mario Bros, Pac-Man, Street Fighter, Altered Beast, Q*bert, hingga Sonic the Hedgehog. Apabila ada mendengar suara tawa penonton yang membahana kala menyaksikan tokoh-tokoh ini muncul, Anda bisa menebak dengan mudah berapa usia penonton tersebut. Hahaha.
Note : Sebaiknya Anda tidak datang terlambat karena ada sebuah film pembuka berdurasi 7 menit berjudul Paperman yang sederhana, jenaka, manis, dan romantis. Sangat bagus.
Outstanding
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content