Plesiran di Batavia
Welrevreden adalah kota baru di pinggiran Batavia yang dibangun oleh penguasa Belanda pada pertengahan abad ke-17 sebagai “tempat berteduh”. Di kawasan ini banyak dibangun rumah-rumah peristirahatan dan taman-taman besar, seperti Waterloo Plein (kini Lapangan Banteng), Wilhelmina Park (kini Masjid Istiqlal) dan Koningsplein (kawasan Monas). Lingkungannya yang lebih sehat ketimbang daerah bisnis dan pemerintahan menjadikannya tempat favorit bagi turis-turis asing yang berkunjung ke Batavia. Karena sering didatangi turis, Weltevreden memiliki banyak hotel. Di sana ada Hotel des Indes , Hotel der Nederlanden, Grand Hotel de Java, dan lain-lain. Apa yang dilakukan para turis itu selama mengunjungi Batavia? Tentu saja jalan-jalan keliling kota.
Jadwal Kereta Tempo Doeloe
Pemerintah kolonial Belanda dulu membagi kota Batavia menjadi dua kawasan. Kawasan pertama adalah Batavia lama, tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan dan berada di tepi laut. Daerah Kota dan Tanjung Priok termasuk dalam kawasan ini. Kawasan kedua adalah wilayah yang dibangun untuk tempat tinggal yang diberi nama Weltevreden. Karena pintu masuk ke Batavia saat itu hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok, pemerintah kolonial merasa perlu mengoperasikan kereta api yang menghubungkan “kota bawah” (Batavia) dan “kota atas” (Weltevreden). Trayek ini dilayani oleh dua jawatan yang berbeda, yaitu Staatsspoorwegen (S.S) milik pemerintah dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S) yang dioperasikan oleh swasta. Para pelancong asing yang baru tiba di pelabuhan bisa langsung menuju hotel tempat mereka menginap di Weltevreden dengan menggunakan layanan kereta ini.
Untuk memudahkan mereka dibuatlah jadwal kereta yang melayani trayek tersebut. Trayek ini dibagi menjadi dua rute: Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Kemajoran) dan Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Koningsplein, kini bernama Gambir). Kereta api paling pagi berangkat pukul 06.14 dari Tandjong Priok dan hanya sampai stasiun Batavia (kini Kota). Kereta terusan ke Koningsplein baru berangkat pukul 09.06, singgah di stasiun Batavia pukul 9.23, stasiun Noordwijk (kini Juanda) pukul 9.41 dan tiba di Koningsplein jam 9.44. Kereta berikutnya berangkat pukul 9.15 melalui rute lain dan tiba stasiun Kemajoran pukul 9.38. Rute Tandjong Priok-Koningsplein menempuh waktu sekitar 38 menit, lebih lama 15 menit dibandingkan rute Tandjong Priok-Kemajoran karena harus singgah di stasiun Batavia dan Noordwijk.
Welrevreden adalah kota baru di pinggiran Batavia yang dibangun oleh penguasa Belanda pada pertengahan abad ke-17 sebagai “tempat berteduh”. Di kawasan ini banyak dibangun rumah-rumah peristirahatan dan taman-taman besar, seperti Waterloo Plein (kini Lapangan Banteng), Wilhelmina Park (kini Masjid Istiqlal) dan Koningsplein (kawasan Monas). Lingkungannya yang lebih sehat ketimbang daerah bisnis dan pemerintahan menjadikannya tempat favorit bagi turis-turis asing yang berkunjung ke Batavia. Karena sering didatangi turis, Weltevreden memiliki banyak hotel. Di sana ada Hotel des Indes , Hotel der Nederlanden, Grand Hotel de Java, dan lain-lain. Apa yang dilakukan para turis itu selama mengunjungi Batavia? Tentu saja jalan-jalan keliling kota.
Jadwal Kereta Tempo Doeloe
Pemerintah kolonial Belanda dulu membagi kota Batavia menjadi dua kawasan. Kawasan pertama adalah Batavia lama, tempat kegiatan pemerintahan dipusatkan dan berada di tepi laut. Daerah Kota dan Tanjung Priok termasuk dalam kawasan ini. Kawasan kedua adalah wilayah yang dibangun untuk tempat tinggal yang diberi nama Weltevreden. Karena pintu masuk ke Batavia saat itu hanya ada di pelabuhan Tanjung Priok, pemerintah kolonial merasa perlu mengoperasikan kereta api yang menghubungkan “kota bawah” (Batavia) dan “kota atas” (Weltevreden). Trayek ini dilayani oleh dua jawatan yang berbeda, yaitu Staatsspoorwegen (S.S) milik pemerintah dan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S) yang dioperasikan oleh swasta. Para pelancong asing yang baru tiba di pelabuhan bisa langsung menuju hotel tempat mereka menginap di Weltevreden dengan menggunakan layanan kereta ini.
Untuk memudahkan mereka dibuatlah jadwal kereta yang melayani trayek tersebut. Trayek ini dibagi menjadi dua rute: Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Kemajoran) dan Tandjong Priok-Weltevreden (stasiun Koningsplein, kini bernama Gambir). Kereta api paling pagi berangkat pukul 06.14 dari Tandjong Priok dan hanya sampai stasiun Batavia (kini Kota). Kereta terusan ke Koningsplein baru berangkat pukul 09.06, singgah di stasiun Batavia pukul 9.23, stasiun Noordwijk (kini Juanda) pukul 9.41 dan tiba di Koningsplein jam 9.44. Kereta berikutnya berangkat pukul 9.15 melalui rute lain dan tiba stasiun Kemajoran pukul 9.38. Rute Tandjong Priok-Koningsplein menempuh waktu sekitar 38 menit, lebih lama 15 menit dibandingkan rute Tandjong Priok-Kemajoran karena harus singgah di stasiun Batavia dan Noordwijk.
Untuk rute Tandjong Priok-Kemajoran, penumpang dikenakan tarif sebesar 0,4 gulden (40 sen) untuk kelas satu dan 0,25 gulden untuk kelas dua. Sementara rute Tandjong Priok-Koningsplein mengenakan tarif 0,6 gulden untuk kelas satu dan 0,35 gulden untuk kelas dua. Kereta terakhir dari Tandjong Priok berangkat pukul 18.29 tapi hanya sampai Batavia. Para pelancong yang menggunakan kereta ini terpaksa harus menggunakan moda transportasi lain seperti trem atau sado untuk meneruskan perjalanan mereka ke Weltevreden.
Naik kereta api
Sejarah transportasi kereta api di Indonesia mungkin termasuk yang tertua di dunia. Pada tahun 1864, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah membangun lintasan rel dari desa Kemijen (Semarang) ke Tanggung (Grobogan), meski di Inggris kereta api sudah digunakan sebagai alat transportasi sejak tahun 1830. Dalam konteks alih teknologi, selang waktu 34 tahun termasuk cepat pada waktu itu, mengingat jauhnya jarak dunia Barat dan Timur, serta terbatasnya moda angkutan antar benua yang hanya mengandalkan kapal laut. Perkembangan transportasi ini begitu pesat. Jika pada tahun 1864 panjang rel yang dibangun baru 25 km, pada tahun 1900 lintasannya sudah mencapai 3.338 km, bertambah 133 kali lipat dalam kurun waktu 36 tahun! Suatu pencapaian luar biasa yang pernah ditorehkan bangsa Belanda di negeri jajahannya.
“Perjalanan dari Samarang ke Djocjakarta biasanya ditempuh melalui Solo(Soerakarta), tapi rute ini biasa-biasa saja karena cuma melintasi dataran rendah yang dipenuhi persawahan. Aku menyarankan rute yang lebih menarik melalui (benteng) Willem I. Ada kereta yang berangkat pukul 5.57 atau 8.17 pagi dan sampai di Djocja pukul 2.16 atau 5.10 sore. Kereta yang berangkat pukul 10.50 cuma sampai Magelang, jadi akhirnya aku menumpang kereta yang berangkat pukul 2.9 siang, dan setelah sampai di stasiun Kedoeng Djattie, kami pun pindah ke kereta lain. Selama dua jam berikutnya, kereta melintasi kaki-kaki bukit, hutan dan padang rumput yang indah, silih berganti dengan pemandangan lembah, sawah dan bukit-bukit di kejauhan saat kereta merayap naik ke Willem I. Tempat ini kami capai pada pukul 5 sore, dimana kami bisa merasakan sejuknya semilir angin dan menikmati keindahan alam serta matahari terbenam di gunung kecil di depan hotel.
“Keesokan harinya pada pukul 8.54, aku ikut kereta api yang berangkat dari Semarang pukul 5.57 dan tak lama kemudian sampai di sebuah stasiun dimana lokomotifnya ditukar dengan loko cog-wheel karena daerah yang akan kami lewati nanti terlalu berat bagi loko biasa. Kereta kemudian berjalan lagi memutari bukit-bukit yang dipenuhi ladang hingga ke puncaknya. Kereta pun terus naik ke atas hingga kami bisa merasakan udara yang sangat menyegarkan. Tiffin (makan siang) harus dipesan melalui kondektur sebelumnya dan akan diantarkan ke gerbong.
“Kira-kira pukul satu siang loko kereta diganti lagi, dan perjalanan ke Djocja pun dimulai melalui Magelang. Bagi mereka yang ingin mengunjungi Samarang, aku sangat menyarankan rute ini.” Lain Belanda, lain pula Jepang. Saat Indonesia diduduki oleh Negeri Matahari Terbit itu, perkeretapian kita ikut mengalami dampak buruknya. Batang-batang rel sepanjang 901 km dibongkar lalu dipindahkan ke Burma. Untungnya pendudukan Jepang tidak berlangsung lama. Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, para karyawan kereta api mengambil alih kuasa perkeretaapian dari tangan Jepang pada 28 September 1945. Tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Kereta Api di Indonesia.
Stasiun Bogor 1904
Foto Stasiun Bogor yang diambil pada tanggal 08-10-1904 oleh M. Louise Treub, seorang kerabat dari Melchior Treub (1851-1910) yang saat itu menjabat sebagai kepala Kebun Raya Bogor. Bangunan ini adalah bagian dari sejarah perkeretaapian di Indonesia. Pada tahun 1881, pemerintah kolonial membangun perhentian terakhir untuk jalur kereta api yang menghubungkan kota Batavia dan Buitenzorg (nama Bogor ketika itu). Sebelumnya, kedua kota hanya dihubungkan oleh moda transportasi tradisional seperti kereta kuda. Bentuk bangunan ini tidak berubah hingga sekarang, termasuk empat bilah pintu dari kayu. Begitu pula dengan interior di dalamnya seperti peron dan ruang-ruang kantor.
Sayang, keindahannya kini tertutup oleh tenda-tenda pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalan di depan stasiun itu. Puluhan angkot yang lalu lalang mencari penumpang juga ikut menambah keruwetan. Jejak sejarah semakin terkikis oleh gaya hidup manusia modern. Entah sampai kapan kita dapat menyaksikannya tegak berdiri di tengah keangkuhan kota yang tak peduli lagi dengan estetika masa lalu.
Jalan-jalan di Passer Baroe
Tiga lelaki Belanda tengah menikmati suasana Passer Baroe, Agustus 1930. Yang paling kiri adalah Hans Dokkum, sekretaris direktur dan pemilik Algemeen Nieuws en Telegraaf Agentschap (ANETA), D.W. Berretty. Berretty tewas setelah pesawat rute Amsterdam-Batavia yang ditumpanginya jatuh di perbatasan Irak-Suriah, Desember 1934. Kantor berita ANETA (yang gedungnya hanya sepelemparan batu dari Passer Baroe) lalu dikendalikan oleh Dokkum tapi kemudian diambil alih oleh pemerintah kolonial pada tahun 1935. Dokkum yang kecewa dengan pengambilalihan itu lalu pulang ke negerinya, tapi kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1937 untuk bekerja di koran Java Bode. Enam bulan kemudian Dokkum terkena pnemonia dan meninggal dunia pada Juli 1938. Jenazahnya dimakamkan di kuburan Belanda di kawasan Tanah Abang (kini bernama Taman Prasasti). Hal menarik yang pernah diungkapkan Dokkum kepada keluarganya adalah bahwa ANETA sebetulnya adalah kepanjangan dari “Altijd Nummer Een Trots Alles” yang artinya “selalu menjadi nomor satu dalam segala hal”.
Hebohnya Komedie Stamboel
Komedie Stamboel adalah pertunjukan teater bergaya Istambul yang muncul di Surabaya pada tahun 1891. Pertunjukan ini cukup terkenal pada jamannya dan sempat digelar di Singapura dan Malaysia. Cerita-cerita yang dimainkan umumnya diambil dari kisah1001 Malam, dongeng peri dari Eropa, dan cerita-cerita opera seperti Putri Tidur dan Aida. Dalam buku “The Komedie Stamboel: Popular Theatre in Colonial Indonesia” (2006), Matthew Isaac Cohen menulis:
Komedie Stamboel dibuka pada 29 September 1892 di lapangan Mangga Besar, Glodok dan berlangsung hingga 13 Oktober. Daerah ini adalah kawasan pecinan tua di Batavia, dimana “rumah-rumah tinggi dan sempit, dengan hiasan aneh dan genting merah yang kontras dengan birunya langit, berhimpitan satu sama lain; jalannya yang lebar dipenuhi gerobak dan kereta kuda, selaras dengan lalu lintasnya yang padat; orang-orang berjalan dengan penuh energi dan kesibukan.”
Tiket dijual hingga empat gulden dan ada keraguan apakah penonton di Batavia mampu membayar semahal itu. Sekali lagi, Komedie Stamboel harus bersaing dengan yang lain. Akrobatik Jepang yang menjadi pesaing kuatnya di Semarang juga bermain di Glodok dari tanggal 4 sampai 9 Oktober, sementara Stanley’s Comic and Burlesque Opera Company menggelar opera di dekat kawasan itu mulai 9 Oktober. Bintang Barat melaporkan: “Dari namanya orang mungkin berpikir bahwa komedi ini berasal dari Turki, tapi nyatanya bukan. Kelompok ini terdiri dari orang-orang Indo yang dilatih memainkan komedi dalam bahasa Melayu dan membawakan kisah yang diadaptasi dari cerita Arab “1001 Malam”.
Saat mereka bermain di Surabaya, kami sering membaca di koran lokal tentang betapa hebat dan lucunya komedi ini, tapi kami tak bisa menuliskannya sebelum menyaksikan mereka dengan mata kepala sendiri. Kami lalu menontonnya dua kali dan apa yang kami saksikan benar-benar menyenangkan. Ketika memasuki tenda pertunjukan, kursi penontonnya diatur seperti sirkus. Di antara penonton kelas satu dan panggung terdapat band pengiring yang musiknya terdiri dari harpa, biola, gitar, suling dan terompet. Semua pemainnya orang Indo, kecuali harpa yang dimainkan oleh orang Italia. Musik dimainkan sebelum komedi dimulai dan saat pergantian adegan. Ini dimaksudkan agar penonton tidak menunggu adegan berikutnya dalam kesunyian.
Ketika adegan akan dimulai, suara bel berbunyi lalu layar dinaikkan. Di panggung, beberapa pemain muncul dengan memakai kostum sesuai adegan yang akan dimainkan. Pemain yang berperan sebagai raja memakai pakaian kebesaran, pemain yang bermain sebagai pelayan didandani seperti pelayan. Mereka membawakan cerita dari kisah 1001 Malam dan menyanyikan sebuah pantun dengan diiringi musik. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu manis, seperti Aku Ingat Padamu, Bintang Siang, dan sebagainya. Dua di antara aktor-aktor yang berperan memiliki akting yang lucu. Setiap kali keduanya ini muncul, mereka mengundang tawa penonton karena tingkah mereka yang seperti badut. Dua pemain ini sangat jenaka dan mampu mengundang simpati publik.”
Pertunjukan berjalan sukses sejak malam pembukaan. Banyak tokoh-tokoh penting menonton Toekang Ikan Sama Djin (The Fisherman dan The Genie) dan Siti Senimbar pada dua malam pertama. Orang-orang dari kampung Poncol Sentiong, Tangki dan Sawah Besar, secara berkelompok datang untuk menonton. Pertunjukan menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Batavia. Lagu-lagu yang dibawakan dalam pertunjukan itu menjadi populer, sering dimainkan oleh pemain-pemain keroncong jalanan dan menjadi siulan orang dimana-mana. Meski pertunjukan umumnya berlangsung aman dan tertib, ada beberapa kejadian yang menjadi perhatian media saat itu. Sejumlah aktor hampir saja baku hantam dengan penonton pada pertunjukan 11 Oktober. Jika penonton wanita datang ke sana untuk mendengarkan musik dan lagu, penonton prianya punya maksud lain. Mereka “datang setiap malam untuk melihat perempuan-perempuan Indo yang cantik”. Para aktor yang memiliki hubungan khusus dengan artis-artis itu jelas tidak menyukai hal ini.
Cerita yang diambil dari 1001 Malam seringkali menampilkan adegan implisit yang menyinggung nilai-nilai moral. Seorang pembaca menulis keluhan di koran Pembrita Betawi. Katanya, “Komedie Stamboel mengambil apa adanya dari 1001 Malam. Cerita-cerita ini tidak sesuai buat perempuan dari keluarga baik-baik, sebab hampir semua ceritanya mengandung rahasia-rahasia seksual, misalnya penggunaan kekerasan dalam adegan ranjang yang tak pantas dilihat oleh perempuan belia. Lebih baik jika komedi mengambil cerita dari sumber lain yang sesuai untuk semua kalangan.” Dua minggu setelah pertunjukan pertama, komedi ini diminta untuk meninggalkan Mangga Besar. Setelah percobaan pembakaran tenda pertunjukan, Bintang Barat menulis “lebih baik komedi secepatnya pergi dari Mangga Besar, sebab jika tidak, akan memicu konflik yang lebih serius.” Sehari setelah pertunjukan terakhir pada 13 Oktober, komedi pun pindah ke kawasan Gambir.
Baboe, potret Indonesia djaman doeloe
Kata babu yang berarti pembantu berasal dari kata baboe dalam bahasa Belanda. Di masa kolonial, peran babu sangat penting dalam keluarga Belanda yang menetap di Indonesia. Seorang babu biasanya bertugas menjaga dan menemani anak-anak majikannya. Dalam buku Dutch cultures overseas, Frances Gouda menulis:
Dalam konteks yang lebih pribadi, Paula Gomes, dalam bukunya yang mengharukan, Sudah, laat maar (Sudah, Biarkanlah), menulis dengan sangat cermat dilema yang dihadapi seorang gadis muda dalam menerima ketidaksetaraan hubungan dengan pembantunya yang biasa tidur di tikar di samping tempat tidurnya. Dia ingat ketika suatu saat ia duduk di tempat tidur sambil melihat buku bergambar indah, ia meminta si baboe duduk di sampingnya supaya mereka bisa melihat buku itu bersama-sama. Tetapi, baboe itu tetap duduk di tikarnya di lantai, menggelengkan kepala dan tersipu: “Baboe tempatnya di bawah, di lantai…” dan sekalipun sempat terlintas di benak saya: mengapa, betulkah? Saya terima saja hal itu.
Adegan Mandi di Belakang Hotel Bellevue
Bogor tempo doeloe memang menyimpan fakta yang begitu menarik. Kota yang dinamai Buitenzorg oleh orang Belanda itu tak cuma memiliki Kebun Raya, tapi juga menjadi kediaman sang gubernur jenderal. Letaknya yang dinaungi Gunung Salak membuat kota itu berhawa sejuk dan seringkali disiram hujan. Maka wajar jika Buitenzorg pun menjadi tempat favorit untuk berakhir pekan bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Batavia yang panas. Di seberang sisi barat Kebun Raya terdapat Hotel Bellevue yang sangat terkenal pada waktu itu. Yang membuatnya populer adalah pemandangan alam di belakangnya yang tidak hanya menampilkan keanggunan Gunung Salak, tapi juga kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dalam buku “Where the Strange Trails Go Down” (1921) , penulis Amerika E. Alexander Powell menceritakan pengalamannya saat mengunjungi sejumlah tempat di Asia, termasuk Jawa. Di Buitenzorg, dia kagum dengan pemandangan yang dilihatnya dari balkon kamar Hotel Belleveue seperti yang dikisahkannya berikut ini:
Ketika Anda tiba di Hotel Bellevue, Buitenzorg, pastikan untuk memesan sebuah “kamar gunung”. Pemandangan dari balkonnya hanya bisa disaingi oleh beberapa tempat lain di dunia. Di kejauhan, Gunung Salak berdiri dengan anggunnya dengan puncak yang diselimuti awan dan lereng yang dihijaui pepohonan. Dari kakinya tampak sebentuk pita coklat yang mengalir menembus kerimbunan, itulah Sungai Tjidani (Cisadane). Tepiannya yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa, dipenuhi rumah penduduk yang kuno dan beratap jerami. Ratusan orang laki-laki, perempuan dan anak-anak tampak sedang mandi di sana.
Salah satu pemandangan menarik dan mengherankan di Jawa adalah perempuan-perempuan setempat yang mandi di sungai. Mereka masuk ke dalam air dengan memakai kain sarung. Sambil merendam tubuh ke air, sedikit demi sedikit kain itu mereka angkat. Sarung kemudian dilepaskan melalui kepala saat air sudah mencapai ketiak mereka. Ketika selesai mandi, mereka memakai sarung kembali dengan cara sebaliknya. Hawkinson merekam adegan itu dengan ratusan meter film. Tapi Badan Sensor Pennsylvania tak mampu menemukan sedikit pun hal yang tabu dalam adegan mandi itu.
Agen Perjalanan Tempo Doeloe
Meski hanya setebal 66 halaman dan dimaksudkan sebagai alat promosi, buku ini ternyata cukup menarik dan cukup jelas menerangkan tempat-tempat yang dapat dikunjungi oleh para turis asing. Sebagai alat promosi, buku ini tak kalah menarik dari iklan-iklan jaman sekarang. A.M. Michael meng-klaim perusahaanya sebagai “satu-satunya agen wisata handal di Jawa yang memiliki mobil-mobil kelas satu dengan supir-supir pilihan yang memberikan jaminan keselamatan dan kenyamanan…“ Seperti layaknya terbitan tempo doeloe, buku ini pun tak lepas dari iklan perusahaan lain yang terkait dengan bisnis pariwisata. Misalnya, iklan toko Wurffel di kawasan Gemblongan yang menjual aneka kamera dan peralatan fotografi, iklan Hotel des Indes di Batavia yang menawarkan “200 kamar berperabotan lengkap dengan kamar mandi dan telepon sendiri “.
Sebagai panduan, buku ini dilengkapi dengan rute perjalanan sesuai paket wisata yang dipilih oleh turis. Paket Surabaya-Batavia 4 hari, misalnya, mengawali perjalanan dari Surabaya, makan siang di Madiun, mengunjungi Candi Prambanan dan menginap di Jogja. Hari ke-2, para turis akan diajak melihat bekas pemandian keraton dan sentra pengrajin batik, makan siang di Grand Hotel de Djocja, lalu melanjutkan perjalanan ke Candi Mendut dan Borobudur sebelum tiba di Wonosobo untuk menginap di Hotel Dieng. Keesokan harinya, para turis akan dibawa melewati Banyumas, Purwokerto dan Bumiayu dan singgah di Cirebon untuk makan siang. Perjalanan lalu dilanjutkan melalui lembah Sumedang (Cadas Pangeran?) sebelum sampai di Grand Hotel Bandung untuk bermalam. Di hari terakhir, mereka akan dibawa ke Buitenzorg (Bogor) melewati Cianjur dan Sukabumi untuk mengunjungi Museum Zoologi dan Kebun Raya. Sesudahnya, mereka akan pergi ke Batavia untuk makan siang dan menghabiskan waktu di sana.
“Sabun harus dibawa sendiri oleh turis karena tak satupun hotel di Jawa yang menyediakannya..” tulis buku panduan yang juga memberikan contoh percakapan ringkas dalam bahasa melayu seperti “Jongos minta rotti” di sebelah tulisan dalam bahasa Inggris “Boy, I want some bread”.
Makan malam di istana Buitenzorg
Bogor tempo doeloe adalah kota peristirahatan orang-orang Belanda yang tinggal dan bekerja di Batavia. Hawanya yang sejuk karena berada di kaki Gunung Salak dan curah hujannya yang tinggi, membuat kota ini menjadi “tempat makan angin” bagi mereka yang jenuh dengan pengapnya kota besar. Itulah sebabnya orang-orang Belanda menyebut kota ini “Buitenzorg” yang artinya “tanpa kekhawatiran”. Selain kebun raya botani yang terkenal, di kota ini juga terdapat rumah peristirahatan para gubernur jenderal Belanda. Di gedung yang kini menjadi istana kepresidenan itu dulu sering digelar jamuan makan malam dimana sang gubernur mengundang para petinggi pemerintahan dan tamu-tamu asing yang sedang mengunjungi Buitenzorg. Charles Walter Kinloch, seorang turis Inggris, menceritakan pengalamannya menghadiri undangan makan malam dari Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist di istana pada tahun 1852.
Di pagi yang sama, kami menerima undangan makan malam dari gubernur. Pada waktu yang disebutkan dalam kartu undangan, kami pun datang ke istana. Kami melihat semua hadirin berdiri, undangan wanita berkumpul di salah satu sisi ruangan, dan para pria di sisi lain. Tiba-tiba pintu di ujung ruang tamu terbuka, dan Gubernur Jenderal bersama istrinya berjalan perlahan memasuki ruangan. Para undangan menunduk dan membungkuk untuk memberi hormat saat Yang Mulia berjalan melewati mereka. Sekretaris istana lalu maju ke depan dan secara resmi memperkenalkan kami pada tuan dan nyonya rumah.
Saat makan malam kami mendapat kehormatan duduk di samping tuan rumah. Sebagian percakapan dilakukan dalam bahasa Belanda, sebagian lagi dalam bahasa Prancis. Yang Mulia agak malu-malu berbahasa Inggris, meskipun tampaknya dia memiliki pengetahuan yang cukup tentang bahasa tersebut. Makan malam, tentu saja, disajikan ala Belanda tulen, beragam makanan dalam porsi-porsi kecil, lengkap dengan ciri khas mereka yaitu mentega asam dan asin, permen coklat, manisan gandum, dan kue plum bertabur gula. Minuman anggurnya yang beraneka macam sungguh lezat. Tetapi selera kami lebih memilih makanan Inggris yang padat dan sehat, yang mungkin didasari pertimbangan buruk sehingga kami tak menikmati sepenuhnya makan malam terbaik di tanah Jawa itu.
Undangan pria tidak duduk-duduk setelah makan, tetapi mengikuti gaya kontinental dengan meninggalkan meja bersama pasangannya masing-masing. Kami lupa bahwa saat itu kami makan malam dengan orang-orang asing, sehingga agak bingung ketika kami masih duduk sendirian di meja yang kosong. Pasangan terakhir telah menuju ruang aula. Akhirnya kami pun sadar dan segera menyusul mereka. Di aula semua hadirin berbaris rapi mirip pasukan yang sedang diinspeksi. Pria dan wanita berbaris terpisah dan berdiri berhadapan. Para wanita lalu menunduk untuk memberi hormat kepada pria di depannya. Para pria lalu membungkuk membalas hormat mereka. Usai prosesi ini, ketika para wanita meninggalkan aula, kotak-kotak cerutu lalu berpindah tangan sehingga dalam beberapa menit ruangan itu semerbak dengan bau asap tembakau. Karena kami bukan perokok, kami lalu bergabung dengan para wanitanya. Waktu semakin malam dan kami diajak bermain kartu dengan gubernur jenderal. Kami menolak kehormatan itu dan memilih duduk di ruang musik.
Kami senang menghadiri jamuan makan malam itu. Gubernur dan istrinya sangat ramah dan penuh perhatian. Tampak sekali mereka berusaha menyenangkan kami. Yang Mulia sangat sopan dan sikapnya menyenangkan. Bagi kami yang berasal dari Inggris, mungkin dia tampak sedikit berlebihan karena kami lebih senang dengan acara yang tak begitu formal. Nyonya van Twist, meski tidak begitu cantik, memiliki ekspresi wajah paling menyenangkan dan melakukan tugasnya dengan baik sebagai tuan rumah.
NB: Kisah di atas diceritakan oleh Charles Walter Kinloch dalam buku “De Zieke Reiziger: Rambles in Java and the Straits Settlement” yang pertama kali diterbitkan pada 1853. Buku itu berisi pengalamannya mengunjungi Penang, Singapura dan Pulau Jawa sebagai turis pada tahun 1852.
een koweorang ekstrimis nei ?
0 komentar:
Posting Komentar - Back to Content